4

309 15 0
                                    

ALEX

Rumahnya sepi. Sama sekali tak ada orang selain dirinya. Pertama kalinya rumah ini hanya ditempati seorang saja, biasanya ada dua atau tiga orang. Suasana sunyi yang menyesakkan dadanya, hingga untuk sekedar bernapas saja terasa sakit. Hawa keberadaannya menyelimuti seluruh sudut bangunan, sosok yang untuk selamanya takkan pernah bisa lagi ia raih apalagi memiliki. Rasanya lucu jika dibandingkan setahun lalu saat ia libur musim panas seperti sekarang.

Kala itu semua baik-baik saja. Segalanya tampak seperti biasa. Ada canda tawa, gurauan, omelan, semua tentang dirinya. Dibandingkan sekarang memang bagai mimpi. Kontras perbedaannya terlalu jelas. Dia sudah milik orang lain. Say sudah jadi istri Max beberapa jam lalu.

Dan sampai kapan Alex harus terus berusaha akrab dengan kenyataan yang terlalu nyata mencekiknya?

*

Alex memarkir mobilnya dan melangkah masuk ke pintu hotel. Ia menyeret kopernya dibelakang, mengikutinya bagai pengawal setia. Sudah cukup usahanya bunuh diri dirumah yang penuh dengan kenangan mereka bertiga. Ia muak terjerat ingatannya serta kenyataan. Setidaknya untuk sementara dia tak akan kesana dan menginap di hotel. Di bagasi mobil ada sepeda gunung yang bisa dipakai kemana saja, Surabaya tak pernah bersahabat dengan kendaraan roda empat.

Selesai check in dan mendapat kunci kamarnya, Alex bersiul menuju lantai 15. Hotel di sekitar sini semuanya baru dibangun. Dulu saat masih kuliah di Jogja daerah ini biasa saja. Hanya kawasan pertokoan dan perumahan di bagian yang lebih dalam. Perkembangan kota ini tidak main-main, dalam rentang lima ratus meter saja ada tujuh hotel bintang tiga dengan fasilitas yang tak bisa diremehkan.

Kamar yang bersih seolah tak pernah dihuni sebelumnya adalah pemandangan pertama yang ia lihat begitu pintu terbuka. Selanjutnya tentu saja lansekap area Jemursari ke arah Sidoarjo yang padat merayap menjelang jam pulang kerja para karyawan. Ujung bibirnya sedikit tertarik mengamati rutinitas hampir seluruh penduduk yang berada dijalanan sepuluh meter dibawahnya.

Cukup menyenangkan juga tinggal disini. Setidaknya kurang dari lima menit pikirannya akan pernikahan tadi pagi teralihkan. Alex selalu suka ketinggian, membuatnya merasa jadi serba tahu tanpa harus mencari tahu. Juga dekat dengan Sang Maha Kuasa, kalo kepleset sih. Tapi dia nggak punya rencana kesitu. Mungkin cuma belum.

*

Tepat selepas adzan maghrib Alex mendapat pesan Line, dari teman sekelasnya semasa SMK. Dia cukup tahu kondisinya dan bisa menebak situasi saat menghadiri resepsi Max dan Say. Katanya dia sudah pesan pelayanan khusus untuknya, sesuatu yang pasti bisa mengalihkan perhatiannya sementara waktu. Boleh juga, pikirnya tanpa curiga. Dulu mereka juga sering pesan layanan antar makanan saat malas keluar karena asyik bertanding PES dirumah. Masih ingat saja. Dibalasnya pesan itu dengan nama hotel serta nomor kamarnya agar si pengantar tidak tersesat.

Sepuluh menit berlalu dan belum juga nampak siapapun. Kamarnya hanya dipenuhi suara channel tv yang bahkan ia tak tahu itu acara apa. Tiga puluh menit, hingga genap satu jam masih tak ada yang mengetuk pintu kamarnya. Aneh. Untuk standar layanan pesan antar makanan ini sudah keterlaluan. Dia berhak dapat kompensasi bila pesanannya lewat dari waktu yang dijanjikan. Tapi, sudahlah. Toh dia cuma sendirian. Mau pizza atau ayam goreng mana sanggup dia habiskan. Bukan dia yang bayar juga. Oh, dia baru ingat kalau punya blu-ray Ultraman Ginga hasil perburuannya di e-bay. Mending lihat itu aja.

Malam beranjak larut, Ultraman sudah mengalahkan semua monster jahat dan pulang ke planetnya, ia putuskan tidur. Rasanya itu cara terbaik mengalihkan perhatiannya meski sementara. Dia ke kamar mandi untuk cuci muka dan menggosok gigi sebentar, ketika keluar betapa kagetnya saat ada perempuan lengkap dengan riasan minimalis duduk diranjangnya. Apa dia salah kamar?

Re: Start!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang