12

93 6 0
                                    

FERDINAL

"Pipinya kenapa, Pak? Berantem sama suami?"

"Ck! Mau tau aja lu urusan orang. Agenda meeting apa? Bahannya sampe kapan mau lu peluk gitu, hah? Lu kira gua apaan?"

"Ini, Pak. Maaf, saya lupa kasih tadi."

"Umur lu berapa sih udah pikunan? Gua lagi sewot lu gak usah kasih bonus lagi, Mer."

"Iya, Pak. Saya tahu. Maaf."

"Merry."

Koridor menuju meeting room tampak panjang karena omelan Ferdinal sepagian ini, juga karena bayangannya yang memanjang hingga beberapa meter di depan saat mendadak berhenti. Merry, sang sekretaris pribadi, hanya menghampiri atasannya tanpa bicara. Dia tahu kalau sepanjang hari akan terus disalahkan.

"Maaf, ada yang bisa saya lakukan sebelum early meeting, Pak?" Merry bertanya penuh waspada meski tahu salahnya.

"Pegadaian udah buka belum jam segini?"

Tumben nanya pegadaian. Orang kaya butuh duit juga ya?

"Masih jam setengah tujuh kurang, saya rasa belum. Pak Ferdinal mau gadaikan apa?"

Suara dengusan sinis dan pandangan meremehkan menyertai kalimat, "Gua mau gadaiin maaf lu. Udah bosen gua denger, siapa tau bisa jadi duit."

Tuh kan?

Bunyi langkah kaki kembali terdengar disertai bunyi pintu terbuka kemudian. Sejak turun dari mobilnya, Merry menyadari raut wajah atasannya tak wajar. Bukan hanya karena ada plester di sudut kiri bibir dan kasa menutupi sebelah pipinya, lebih dari itu seolah ada aura hitam menguar dari tubuh tegap setinggi 181 cm itu. Semoga emosinya stabil selama early meeting dengan klien penting setelah ini. Setelah menang tender, inilah saatnya Ferdinal harus serius.

*

Sebuah superblock berlantai lima dengan sebuah hotel bersanding diantaranya, gambaran kasar itu sudah melekat di otaknya sejak menang tender desain rancangan minggu lalu. Prospeknya bagus, karena itu dia rela insomnianya kambuh demi mendapatkan proyek ini. Kantornya sudah lama tidak mendapatkan tantangan mendesain bangunan berkonsep urban living begini, juga tidak sebesar kali ini.

Masalahnya adalah, si klien minta supaya konsepnya natural dan banyak penghijauan. Solusi yang ia miliki pastinya vertical green yang menghemat ruang sekaligus efisiensi, tapi ditolak dengan alasan sudah mainstream. Otaknya tak bisa berhenti berpikir mau dibawa kemana konsep superblock ini. Tenggat waktu yang diberikan hanya dua minggu saja untuk menyelesaikan rancangan awal. Dan dua minggu yang dimaksudkan jatuh hari ini, pagi ini, dalam early meeting ia harus presentasi dihadapan klien.

"Mer, desain gua normal gak sih menurut lu? Kok gua rasa kayak plagiat," Ferdinal hanya menggaruk kepala dengan telunjuk, sayang dengan tatanan rambutnya. Merapikan lagi bukan ide bagus di situasi sekarang.

"Saya rasa normal, Pak. Futuristik, sesuai keinginan klien. Konsep go green-nya masuk, tapi tetap bernyawa urban. Nggak masalah sih menurut saya."

"Kalo lu yang ada disini, betah gak? Jujur aja, gua pikir berasa hidup di hutan Amazon kalo konsepnya kayak gini."

"Green living kan bagus, Pak. Ini menyatu dengan alam namanya. Cocok sama konsep awalnya."

Ferdinal masih tak puas, merasa gambar tiga dimensi dalam layar besar itu lebih mirip kolam pemancingan daripada superblock. Ah, sudahlah. Pipi kirinya masih berdenyut jika ia berpikir lebih keras lagi. Semalaman ia mengumpati gadis yang secara barbar menamparnya dengan sandal refleksi, penghuni kamar 2011 Tower D di apartemennya.

Re: Start!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang