11

110 7 0
                                    

Clara

Ketukan dari arah depan masih terdengar sementara pemilik kamar sibuk dengan sapuan pen dan layar didepannya. Telinganya tersumbat sepasang earphone bervolume kencang hingga pantas tak tahu bahwa sedang ada seseorang dibalik pintu depan.

"Say, aku masuk nih ya. Kamu dimana sih?," tamunya masuk dan mencari Clara di setiap ruangan. Ia temukan gadis itu duduk bersila diatas kursi dengan mimik serius.

"Astaga, Beb. Kamu tuh aku masuk nggak ngeh sama sekali? Kalo dikamar gini pintunya dikunci dong, ini untung aku yang masuk ya...," lawan bicaranya bergeming, ia memutar kursi hingga menghadapnya.

"Lho? Chika? Kok disini?"

Mulut Chika segera mencibir mendapati sahabatnya baru menyadari ada tamu karena terlalu konsentrasi. Padahal niatnya kemari justru ingin sedikit menghindar.

"Maaf aku baru tau kamu disini," Clara mengangsurkan segelas minuman dan setoples kue kering pada Chika. Wajahnya seolah berkata ada sesuatu.

"Beb, ingat sama cowok yang aku kenalin bulan lalu nggak? Yang manis tapi alim itu," Chika memulai obrolan dengan mulut penuh kue.

Memori Clara mencari-cari sosok yang dimaksudkan, mengingat apa yang terjadi sebulan kemarin. Cowok manis tapi alim yang dikenalkan Chika padanya... Ah!

"Roy?," tebaknya.

"Iya, mana lagi?,"

"Kenapa, Say? Kan anaknya baik tuh, kamu juga respon sama dia. Kamu ditembak?"

"Bukan ditembak lagi. He just proposed me a few minutes ago!!"

Clara manggut-manggut bagai boneka di dasbor mobilnya, masih setengah paham dan mencerna ucapan Chika. Melamar ya? Hmm, enak tuh... What?!

"Kamu dilamar, Beb?! Seriusan?," Clara lebih histeris dari Chika ketika menyadari makna kalimat tadi.

"Lah, baru ngeh. Iya, tadi dia ngelamar aku. Sumpah kaget gila! Orang pendiam tuh emang ngeri ya."

Roy yang rajin ke gereja itu melamar Chika yang rajin 'apel' sepertinya? Ya ampun, itu sih ketiban durian runtuh. Bagi Clara, menikah bukan hanya sekedar sebuah acara sakral. Lebih dari segalanya, menikah adalah tanggung jawab besar.

"Say," ujarnya merangkul bahu Chika yang murung. "Kamu kenapa sih? Bukannya bagus kalo Roy serius sama kamu? Kan dari awal kita semua tau dia nggak niat cari gebetan dan kamu malah langsung maju. Wajar dong, umurnya udah matang juga."

"Tapi aku yang nggak siap, Clara. Aku takut."

"Takut apa?"

Pandangan Chika mengunci Clara. "Kalo kamu yang diposisiku, bisa kamu nerima dia? Bisa kamu dengan santainya bilang 'yes, I will' sedangkan kamu masih 'apel' hampir tiap malam?"

Manik mata gadis berambut panjang itu beralih ke toples kue, lalu ke gelas di tangannya. Untuk kesekian kalinya pikirannya kembali berkecamuk, berusaha membantah bahwa apa yang dia jalani sebenarnya salah. Membuat semuanya terasa mudah dengan memanipulasi benaknya jika ini benar dan tak ada yang keliru. Namun selalu saja bermuara pada satu kesimpulan besar yang setengah mati ia hindari.

"Kalo pertimbangannya itu, mungkin jawabanku nggak bisa. Tapi bisa jadi ini jalan keluar kan? Dengan menikah kamu udah nggak perlu 'tugas' lagi," lidahnya terasa pahit ketika mengucapkan kalimat itu. Clara menjilat bibirnya berulang kali seakan itu bisa membuanya yakin.

Senyuman sinis terlihat menghiasi bibir penuh Chika. "Kamu yakin? Apa kamu nggak merasa bersalah sama calon suamimu? Ayolah, mana ada sih cowok yang tau kita kerja apa tapi masih mau ngelamar? Udah gak waras itu namanya."

Re: Start!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang