CLARA
Bangun pagi Clara menyadari ruangan ini bukan kamarnya. Oh, benar. Ini tempat tinggal Didik. Semalam dia dan Alex kemari untuk mendapati lelaki itu pingsan dalam kondisi demam. Saat itu sementara Alex keluar ia membersihkan pecahan gelas dan juga mengganti baju pemuda itu. Suhu tubuhnya sangat tinggi, keringat membasahi seluruh bagian kemejanya. Kesan pertamanya adalah heran, mau kemana Didik dengan pakaian resmi serta mahal begitu. Kemeja dan celananya itu bisa ditemui di Sogo, bukan pasar.
Keluar kamar, ia melihat tuan rumah menyiapkan sarapan untuk tiga porsi di meja makan. Meski menyebalkan dia tidak membencinya. Lagi-lagi dia ingat semalam. Sungguh, dia tak punya maksud apapun selain mengganti pakaian Didik yang basah oleh keringat. Dan sialnya, pikirannya tak mau menerima begitu saja. Clara ingat sejelas-jelasnya bagaimana dia kembali berdebar saat membuka kancing kemeja dan melepas ikat pinggang Didik, lalu...
Oh, sial! Pandangan mereka bertemu. Jangan sampai dia mimisan karena pikiran kotor pagi-pagi. Perempuan macam apa sih dia? Bisa-bisanya nafsu sama orang yang pernah dia tampar dengan sandal. Tapi memang harus ia akui jika Didik punya tubuh yang bagus.
Kepalanya mengintip dari sofa ruang tengah, mencuri pandang sosok tinggi yang rambutnya tak pernah rapi itu sibuk memotong sesuatu. Tubuh Clara bergerak diluar kendalinya, perlahan menuju dapur tanpa suara, menghampiri punggung lebar yang terbalut polo shirt Tommy Hilfiger. Sekilas sempat ia lihat logo merah-biru kecil di dada kiri Didik saat mata mereka bertemu tadi. Kini jaraknya tak lebih dari sepuluh senti dari punggung itu, lengannya melingkar di pinggang Didik. Bisa dia rasakan lelaki itu kaget sesaat namun langsung menguasai diri dan melanjutkan pekerjaannya.
"Hei," bisik Clara dengan kepala menempel. Seluruh tubuhnya dijalari rasa hangat dari pipinya.
"Apa?," balasan dengan suara anime yang enak didengar memenuhi rongga dada Clara.
"Semalam aku yang ganti bajumu. Maaf."
"Makanya aku bilang terima kasih kan?"
Clara ingat. Saat duduk di samping Didik semalam ia mendengarnya membisikkan kata terima kasih. Entah pada siapa dia tak tahu, rupanya itu untuknya.
"Tapi aku lihat...semuanya. Kamu..."
"Nggak masalah. Lucu kalo kamu bilang nggak lihat apa-apa."
Iya juga sih.
"Serius kamu nggak masalah?," desaknya.
Didik berbalik tanpa melepaskan dekapan Clara, melihat kedalam matanya. "Kondisiku nggak memungkinkan untuk protes semalam. Dan aku memang nggak berniat melakukannya. Atau, kamu mau aku protes sekarang?"
Poker face-nya masih sama. Telunjuk Clara menyusuri rahang tegas lelaki itu, mengusap pelan sudut kiri bibirnya yang terluka. "Sakit, Dik?," suaranya jauh lebih khawatir dari yang ia duga.
Mulut Didik terbuka, menggigit pelan ibu jari Clara sambil menggeleng. Gadis itu memindahkan tangannya ke bahu, jemarinya bertaut di tengkuk Didik.
"Boleh...aku cium kamu? Sekali aja."
Otaknya tak bisa memproses kalimat yang dia ucapkan. Harusnya bukan itu, semestinya dia melepaskan pelukannya. Hingga pernyataan yang keluar dari mulut Didik membuatnya tak segan lagi.
"Berkali-kali juga nggak masalah."
Clara berjinjit, sedikit mendorong kepala Didik mendekati wajahnya dan bibir mereka berpagut. Berkali-kali, dalam, namun menikmati secara perlahan. Bisa dia rasakan lengan Didik merengkuhnya lebih dekat, salah satunya bahkan sudah menyelusup masuk ke dalam bajunya, menyusuri punggungnya mencari sesuatu. Pagutan bibir mereka lepas, Clara memberinya pandangan mengejek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Re: Start!
General FictionClara, akuntan sebuah hotel yang menerima 'panggilan'. Alex, mahasiswa S2 yang patah hati dan melarikan diri dari kenyataan. Ferdinal, eksekutif muda dengan segala trauma di masa lalunya. Bertiga, mereka menjalin pertemanan dengan masalah dala...