28

65 6 3
                                    

CLARA

Beberapa hari ini ia sering meminta tolong Didik untuk antar jemput ke kantor. Mobilnya tak bermasalah, dia hanya ingin melenyapkan rentang jarang antara dirinya dan Didik. Lelaki itupun tak pernah menolaknya, mungkin menikmati kebersamaannya. Mulut berbisanya masih menebar racun, kadar mesumnya juga tak berubah. Setidaknya itu patut disyukuri sebagai sedikit hal yang tidak berubah.

Kali ini Didik membawanya ke sebuah restoran Italia yang cukup besar. Dari daftar menu, harga yang tertera masih masuk akal. Pantas saja ramai dan bahu jalan dialokasikan untuk lahan parkir mobil. Lagipula, ini pertama kalinya ia keluar berdua saja. Selera Didik memang bagus.

"Duduk aja disini, Kak. Aku mau samperin yang punya. Aku ikut kamu aja pesan apa. Ya?"

Didik menepuk bahu kirinya pelan dan pergi ke sisi lain bar menyapa seorang pria bongsor berpakaian koki. Keduanya tampak akrab, pria kenalan Didik sempat melirik sekilas kearahnya dan melempar senyum sopan, mungkin mereka membicarakannya. Sebentar kemudian tangan Didik melambai padanya, isyarat untuk mendekat dan duduk bersama para eksekutif muda lagi sukses itu.

"Sudah pilih menunya?," Didik bertanya dengan nada riang. Mungkin pria berpakaian koki ini teman lamanya.

"Belum. Bingung yang mana. Ada rekomendasi?"

"Troy, ditanya tuh," Didik kini bertanya pada kawannya. "Lu ada menu yang recommended gak?"

"Semua juga recommended buat dimakan," balas pemilik resto memberikan layanan berupa gelato ukuran kecil bagi dua tamunya.

"Kalo lu bilang gitu, gimana kalo gua beli resto ini sekalian? Biar nggak perlu milih mana yang mesti gua makan."

Senyuman bisnis yang Clara artikan di wajah Didik ditanggapi serius. "Boleh. Udah bosen juga sih, pengen coba bisnis lain. Kasih aku tiga, ambil semuanya. Termasuk pegawai. Deal, Ferdi?"

Tangan Didik menengadah, dan Troy yang tahu maksudnya segera memberikan kalkulator. Setelah sedikit tawar menawar, Didik mengambil dompet dan menarik selembar kertas serta menuliskan sesuatu. Ia berikan kertas itu dan berjabat tangan sebagai tanda terjadinya kesepakatan.

"Jadi, biar aku urus dulu kepemilikannya atas namamu, selebihnya bebas. Resto ini sudah bukan aku lagi pemiliknya. Asik ya bisnis sama kamu."

Clara hanya diam saja menyaksikan transaksi jual-beli resto yang jauh dari kata formal. Mungkin memang begini cara kerja konglomerat saat mengakuisisi suatu usaha.

"Dulu tempat ini punyaku, Kak. Dua tahun lalu diakuisisi sama Troy soalnya aku nggak sanggup sama biaya operasionalnya. Emang, kalau rejeki nggak bakal kemana. Pesan apapun yang kamu mau, gratis!"

Setengah melongo Clara merespon, belum sepenuhnya mencerna kalimat Didik yang sederhana tadi. Artinya terlampau jelas, tapi masih sulit diresapi.

"Mau bungkus juga nggak?"

Resto ini milik lelaki bermata sipit ini sekarang. Baru saja transaksi selesai, dan Clara berhak makan apapun secara cuma-cuma?

"Bercanda juga ada batasnya, Dik!"

Lelaki itu mundur selangkah, wajahnya heran mendapati reaksi aneh dari Clara.

"Oi, Kak. Sakit ya kamu? Tadi aku udah bayar kok sama si Troy, sah kan? Biasa aja lah, jangan kayak orang susah gitu. Malu sama tas Furla punyamu tuh," tandasnya.

"Tapi...tapi kan..."

"Hati-hati!"

Bunyi keras terdengar bersamaan dengan erangan Clara. Kakinya terkilir saat menginjak lantai dan hak sepatu kerjanya yang tinggi tak mampu menahan beban tubuhnya. Sakit luar biasa menerjang pergelangan kaki kanannya. Didik yang membantunya duduk menawarkan untuk pulang dan menggendongnya. Dalam perjalanan ia mampir ke apotek membeli perban dan membebatnya tanpa ampun meski Clara berteriak kesakitan.

Tiba di parkiran lantai 20, kembali Didik menggendongnya di punggung. Dalam lingkup pandang Clara yang baru, koridor apartemen tampak berbeda. Ia merasa tinggi dan pemandangan sekitarnya menjadi berbeda.

"Jadi selama ini, begini ya yang kamu lihat tiap hari? Dari ketinggian ini, rasanya aku ada di tempat berbeda deh. Asik ya jadi orang tinggi," ujarnya berbisik, menumpukan dagu di bahu Didik.

"Menurut kamu mungkin begitu, tapi bagiku nggak juga sih. Malah kamu pikir umurku diatasmu kan?"

Untung saja dia berada di punggung Didik, paling tidak rasa malunya tak bisa dilihat dan jadi bahan ejekan.

"Kan aku nggak tahu sejauh itu, Dik! Salah sendiri punya tampang boros!," ia membela diri.

"Nah, itu tahu. Masih bisa bilang orang tinggi itu enak? Umur baru lewat dua tahun dari angka 20 pasti disangka om-om mesum sama orang yang salah masuk kamar. Ada juga nyebelin."

Astaga! Kenapa Didik masih ingat saja sih? Pintu bernomor 2011 ada di depannya kini, sebelumnya Clara selalu melihat angka itu sejajar dengan penglihatannya. Semua hal nampak berbeda jika dilihat dari ketinggian.

"Disini aja, Dik. Kamarku berantakan soalnya."

Clara duduk di sofa ruang tengah, Didik berlutut dan mengompres pergelangan kakinya yang cedera. Telaten sekali dia merawat Clara. Tanpa kata ia bertindak cekatan, memastikan bagian kaki yang lain tidak ikut cedera ataupun ada tidaknya luka luar.

"Ada lagi yang sakit, Kak? Bilang aja, jangan ditahan. Biar aku tahu mana yang cedera selain ini."

"Nggak ada kok. Kaki aja yang nyut-nyutan terus."

"Serius?"

Raut wajahnya yang khawatir secara otomatis membuat Clara mendekatkan wajahnya, mengunci pandangan sarat akan rasa cemas itu di dalam matanya. Sebelah tangannya terulur membelai rahang tegas pemuda itu, kepalanya dimiringkan mengikuti gerakan tangannya. Jemari Didik meremas telapak tangannya, dijauhkan dari wajahnya, menautkan jarinya diantara sela jari Clara. Selanjutnya suasana yang berbicara. Atau setidaknya itu yang dikiranya, sebelum ia rasakan bibirnya membentur sesuatu hanya sekian mili dari bibir yang tak pernah kuasa ia tolak pesonanya. Ibu jari Didik menahan ciumannya.

"Nggak, cukup," katanya tegas.

Jarak sialan itu lagi, umpat Clara dalam hati.

"Apa lagi, Dik?," amarah Clara jelas dalam tiap katanya. Penuh penekanan dan tersiratkekecewaan.

"Sampai disini batas kedekatan kita, Kak. Aku nggak mau merusak kamu lebih jauh..."

"Bullshit!!"

Kerah kemeja Didik ditariknya mendekat, ia paksa untuk mencari kebenaran dalam emosi yang berkecamuk dalam matanya.

"Nggak mau merusak katamu?," ucapan sinis itu tak merubah mimik lawan bicaranya sama sekali. "Jauh sebelum kenal kamu aku udah rusak, Dik! Pikirmu aku ini apa, hah?!"

Tak ada balasan. Didik memilih bungkam dan mendengar apapun dari Clara.

"Aku pernah bilang suka kamu, dan jawabanmu itu cuma nafsu. Lantas kamu sendiri, bukannya juga sama? Kamu yang bilang untuk selalu ada di lingkup pandangku, tapi kamu sendiri yang menjauh. Aku ini apa bagimu, Dik? Aku muak dengan permainanmu, aku mau kamu bersikap seperti biasa. Salah?"

"Ya, salah," Didik membuka suara akhirnya. "Selama aku punya rasa kekamu hal itu pasti kesalahan. Dan bagiku, kamu adalah kamu. Kamu, seseorang yang pertama kali aku sukai. Dan itu nggak akan pernah berubah sampai kapanpun."

"Bilang itu ke dirimu sendiri, Dik! Sukamu itu cuma hasrat, nafsu doang!"

Cengkeraman Clara melonggar, kepalanya menunduk dalam dan frustrasi. Perlahan airmatanya menetes meluapkan segala sakit hatinya yang tertahan.

"Harus kamu ingat, aku nggak sebaik yang kamu pikirkan selama ini. Aku bukan laki-laki alim, Kak. Semua cuma sebatas yang kamu lihat, aku bukan seperti itu."

"Aku yang berhak mengatur perasaanku, bukan kamu. Aku yang berhak menentukan bagaimana kamu dimataku, bukan kamu. Dan aku yang berhak mencintai siapa, bukan kamu."

Tatapan Didik berubah kaget, berusaha mengelak dan menghindari kenyataan. "Jangan bilang, Kak. Jangan katakan apapun. Aku mohon."

"Aku... Mencintaimu."

***

:\"qU1

Re: Start!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang