Lantai yang penuh bulatan kertas.
Tata letak meja dan bangku yang tidak beraturan.
Papan tulis yang penuh coretan absurd.
Dan murid-murid yang sibuk dengan 'hidup' masing-masing.
Dandan. Pacaran di sudut kelas. Mengungsi ke dunia maya. Menari-nari sambil bernyanyi seperti orang kerasukan ... pokoknya, kalau harus dideskripsikan dengan berlebihan: kelas kacau-balau.
Parahnya lagi, tiga cowok dengan pakaian paling rapi dan kinclong di kelas itu sedang membuli seorang siswa berkacamata tebal yang tengah meringkuk ketakutan di bawah papan tulis.
"Sampai kapan lo mau jadi penjilat? Gue tau kalo lo yang jatuhin motor gue. Kenapa harus nuduh Fendi?!" Bentakan itu berasal dari pita suara Dasa, diangguki oleh dua sahabatnya, Gerald dan Junior.
"Gu-gu-e ... mi-miii—"
"Kalo ngomong yang jelas! Lo nggak mau balik ke TK lagi gara-gara nggak lancar ngomong, kan?" Kali ini suara Junior, sok galak.
"Atau lo ke SLB aja deh," tambah Gerald sambil menepuk pundak Aldo. Alisnya bergerak-gerak memberikan isyarat agar Aldo segera kabur. Sayang, Aldo tidak punya keberanian untuk melakukan itu.
"Congek, ah." Junior mendumel.
"Gu-gu-gue mi-mi-minta ma-ma-af, Das."
"Lo harusnya minta maaf ke Fendi, bukan ke gue! Lo tuh kuker banget ya, ngambing hitamin orang segala."
"Gu-gue ta-takut, Da-Das. Ja-jadi—"
"Kalo lo ngerasa salah, lo harus minta maaf. Kalopun lo nggak mau minta maaf, nggak usah nuduh-nuduh orang. Gue marah ke lo bukan karena lo jatuhin motor gue, tapi karena lo nuduh orang lain. Orang kayak lo tuh sekali-kali harus dikasih pelajaran," ucap Dasa sembari menatap ke arah teman-temannya, "nih anak kita kasih hukuman apa, guys?"
"Kamu yang harusnya dihukum Tuan DASA-WARDANA-YAQDHAN!"
Mendengar namanya dipanggil, Dasa spontan menoleh. Ia tahu siapa pemilik suara itu. Tentu saja bule berdaster yang baru dua minggu di kelasnya dan dengan songong mengajukan diri untuk jadi ketua kelas ke wali kelas mereka.
Dasa tidak suka padanya. Sangat tidak suka. Cewek itu aneh, tukang ngatur, songong pula. Lihat saja caranya berdiri di ambang pintu. Dan lihat bola mata biru lautnya yang menatap tajam ke arah Dasa. Cewek mana di sekolah ini yang berani begitu pada Dasa selain dia?
"Apa saya lupa mengatakan YANG TERHORMAT?"
Alis kanan Dasa menukik tinggi.
"Aldo, kamu kelas XI IPS 1, kan? Bu Yani sudah datang. Cepat kembali ke kelas kamu!" ucap cewek itu lagi.
"Thanks udah ikut campur dalam urusan gue. Gue tau itu bentuk kepedulian lo, tapi sorry, gue nggak butuh," ucap Dasa sarkastis.
"Saya sudah katakan pada hari pertama menjadi ketua kelas, ya, bahwa saya tidak suka melihat kekacauan di kelas ini," tegas Terra.
Dasa menghirup oksigen dalam-dalam, lalu mengempaskannya setelah bertukar dengan karbondioksida. "Lo cuma ketua kelas! Lo bukan kepsek!"
"Kamu sendiri sudah mengakui kalau saya ketua kelas di sini, jadi saya memiliki hak prerogatif untuk mengatur kelas saya. Kalau kamu tidak suka, lebih baik kamu mencari kelas lain!"
"WHAT THE HELL!" sembur Dasa sambil melempar kertas yang dari tadi dipegangnya ke lantai, lalu melangkah keluar kelas diikuti dua pengawalnya, Gerald dan Junior.
Terra memungut kertas yang baru saja dilempar Dasa.
Das, yang jatuhin motor lo Fendi. Labrak aja.
○❏○❏○❏○❏○❏○❏○❏○❏○❏○❏○❏○❏○
Junior dan Gerald saling pandang, kebingungan harus bagaimana untuk menenangkan Dasa yang menendang-nendang tembok belakang sekolah sambil mengumpat dengan sejuta kata-kata kasar yang ter-save di memorinya.
"Sudahlah, Bro. Lo calm deh. Kita kerjain aja, biar dia tahu siapa Dasa Wardana sebenarnya," usul Junior.
Punggung Dasa merosot, terduduk sambil bersandar pada tembok dengan lutut tertekuk.
"Gue nggak mau berurusan sama cewek," ucap Dasa lirih, tapi masih mampu tertangkap oleh indera pendengaran Gerald dan Junior.
Cewek? Dasa bahkan tidak yakin apa Terra bisa dikategorikan cewek atau tidak. Menurut Dasa, Terra itu makhluk astral. Entah apa. Yang jelas, bukan manusia. Mungkin saja, Terra sebenarnya malaikat yang sedang menyamar di bumi untuk menghukum setiap anak suka bolos seperti Dasa.
Tingkah Terra yang aneh dan sungguh tidak ajaib kadang membuat Dasa terheran-heran. Bagaimana tidak, Dasa belum pernah menemukan cewek se-rempong Terra. Cewek itu bisa pidato berbaris-baris hanya karena menemukan siswa yang buang sampah sembarangan. Lucunya, ia akan memungutnya lebih dahulu sebelum siswa—yang menjadi objek teguran—itu memungut sampahnya sendiri.
Well, jangan abaikan penampilannya. Terra memang cantik dengan iris mata biru laut, kulit putih agak pucat, hidung mancung, bibir mungil pink, dan bulu mata lentik yang mengibas-ngibas saat berkedip. Namun, percaya atau tidak, tiap hari ia mengenakan daster abu-abu ke sekolah. Bukan daster juga sebenarnya, tapi 'gamis' abu-abu yang dipasangkan dengan kemeja OSIS.
Parahnya, Terra bahkan mengenakan 'daster'nya saat jam pelajaran olahraga—meski tetap mengenakan celana training di balik rok (read: daster) dan kaus olahraga sebagai luaran.
Freak!
KAMU SEDANG MEMBACA
Das-Ter✔
Teen FictionMenurut kamu, apa Tuhan dan neraka itu benar-benar ada? ●●● Apa kamu percaya pada eksistensi Tuhan? Kalau Dasa, sih, tidak. Dasa punya pemahaman sendiri tentang Tuhan dan perkara-perkara ghaib yang dipercayai keberadaannya oleh orang-orang. Menurut...