23. Lepas ....

2.8K 361 69
                                    

"DASA?!"

Suara Rahardi bergetar saat ia berhasil mendobrak pintu. Dadanya sedang gemuruh. Entah karena marah atau merasa bersalah, ia tidak tahu.

"Dasa?! Kamu di mana? Ayo pulang!" Suara Rahardi meninggi. Ia menggeram saat menyadari Dasa tak ada di dalam kamar.

Rahardi berbalik dan menatap nyalang ke arah Fira. "Kamu sembunyikan di mana anak saya?!"

"Aku tidak sembunyikan, Mas."

"Dia tidak ada di kamar ini! Pasti dia di kamar lain! Dia di kamar mana?!"

"Mungkin dia kabur karena dengar suara kamu!"

"Alasan!"

"Dia tidak mau tinggal sama kamu lagi, Mas. Memangnya siapa yang tahan hidup dengan laki-laki dingin dan temperamental seperti kamu?!"

"Lalu dia pantas hidup sama siapa?! Ayah kandungnya yang psycho itu?! Atau ibunya yang egois?"

"Oh, jadi dia pantasnya hidup dengan kamu? Kalau kamu perlakukan dia dengan baik, mana mungkin dia selalu merengek ingin ikut aku!"

Tangan Rahardi mengepal.

"Apa kamu sudah jadi ayah yang baik? Coba kamu renungkan baik-baik, kamu apakan Dasa selama ini hingga dia selalu mau ikut aku!"

"DIAM! Dia cuma tidak tahu bagaimana liciknya kamu."

"Kamu cuma bi—"

"Nyonya, gawat!"

Perdebatan Rahardi dan Fira terhenti oleh kedatangan bik Ima. Wajah perempuan paruh baya itu pucat.

"Den Dasa, Nya ...."

"Kenapa, Bik?" tanya Fira gusar.

"Den Dasa loncat dari balkon, Nya."

Bola mata Rahardi membelalak. Ia segera berlari menyusuri tangga dan keluar dari rumah Fira. Lututnya lemas seketika saat matanya menangkap tubuh Dasa yang bergerak tak terkendali, beserta busa putih yang terus-terusan keluar dari mulutnya.

Rahardi jatuh berlutut saat menyadari apa yang terjadi. Masalah Dasa bukan hanya loncat dari balkon, tapi anak itu juga overdosis.

Tinju Rahardi mengepal. Sialan, desisnya.

Rahardi kecolongan. Seandainya saja kemarin pagi ia mau menekan egonya dan tidak mendiami Dasa. Seandainya saja kalimat- kalimat menyakitkan itu tidak terucap dari bibirnya, mungkin kejadian ini tidak akan pernah terjadi.

"Papa nggak punya hati!"

Ucapan Dasa dua hari lalu terngiang lagi. Detik ini juga Rahardi mengiyakan ucapan Dasa itu. Ia memang tidak punya hati. Benar-benar tidak punya hati.

"Panggil ambulans cepat!" teriak Rahardi pada pak Ali, satpam di rumah itu.

Tangan Rahardi gemetar. Seluruh tubuhnya gemetar.

"Papa minta maaf, Nak." Berulang kali Rahardi mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang selama ini ditunggu Dasa. Kalimat yang baru saja berhenti diharapkan Dasa.

●●●

Sudah puluhan menit berlalu, Rahardi dan Fira masih duduk diam di depan ruang IGD. Tak ada interaksi apa pun di antara mereka. Rahardi dan Fira hidup dalam dunianya masing-masing.

"Keluarga pasien Dasa Wardana?" ucap dokter yang baru saja keluar ruang IGD.

Rahardi dan Fira tersentak, berdiri bersamaan, dan berujar hampir bersamaan pula.

"Saya ayahnya."

"Saya ibunya."

"Kami harus melakukan operasi darurat. Saya butuh tanda tangan dari pihak keluarga."

Rahardi memegang tangan dokter itu sembari berucap lirih, "Tolong lakukan yang terbaik, Dok. Saya akan tanda tangan."

●●●

Terra menopang dagu. Bosan. Entah kenapa, hari ini jam istirahat lebih lama dari biasanya. Apa karena tidak ada seorang siswa bandel bernama Dasa Wardana yang mengganggunya? Ah, Terra menghela panjang. Ia pernah melewati hari-hari tanpa Dasa. Lalu, kenapa sekarang malah kepikiran?

Terra mengangkat pundak. Biasanya kalau jam istirahat begini, dia sudah sibuk mengamati tingkah tidak ajaib Dasa. Terra mengusap wajahnya kasar. Kenapa ia kepikiran Dasa terus? Apa karena ini hari pertamanya melalui hari-hari yang tenang tanpa cowok itu?

Terra mendengkus sebal. Untung rasa bosan tidak bisa membunuh manusia. Ia putuskan merogoh ponsel dari kantong rok (Read: gamis)-nya.

Ada notifikasi dari Whats App. Beberapa jam lalu.

Oh, Dasa. Terra menggumam. Panjang umur, baru saja kepikiran.

Gue selalu meminta pada Tuhan, kalau Dia benar-benar ada, gue mau Mama balik dan bawa gue pergi dari rumah Papa. Tapi sekarang, saat keinginan gue terkabul, gue malah takut. Apa lo punya kalimat ajaib yang bisa bikin gue kesal hingga gue lupa sama ketakutan gue sendiri?

Terra ingin tertawa membaca pesan Dasa. Selalu saja caper 'bocah' itu. Kalau Terra ditanya 'bagaimana kesannya terhadap seorang Dasa Wardana?', maka ia akan menjawab, 'caper, lebay, dan galauers'.

Kamu jangan lebay! Dasar caper!

Ceklis satu.

"Ter, aku dapat gossip baru!"

Terra tersentak oleh ulah Yuca yang tiba-tiba saja berbisik di telinganya. Geli. Ponselnya disimpan kembali ke dalam saku.

"Gosip apa, Ka?"

Yuca mendekatkan telunjuknya ke bibir.

"Ada apa sih?" tanya Terra tak sabaran.

"Ini tentang Dasa. Oh my God! Itu anak ternyata udah berenti sekolah."

Terra menghela. "Memang sudah berhenti. Kamu tahu dari mana?"

Yuca mengempaskan bokongnya di samping Terra, lalu menatap Terra dengan muka super-duper serius.

"Aku nggak sengaja denger pembicaraan guru BP sama Kepsek. Katanya, pas Dasa pingsan di kelas beberapa hari lalu, itu bukan karena dia sakit, tapi karena sakaw. And bokapnya nyogok Pak Kepsek agar merahasiakan masalah ini."

Terra menghela napas. "Jangan sampai tersebar, ya, Ka."

"Kok kamu nggak kaget? Kamu udah tau, Ter?"

Terra mengangguk.

"Serius kamu udah tau?" Yuca mengulang pertanyaannya.

"Iya, Yuca Sayang. Dasa berhenti sekolah karena dia mau rehabilitasi."

Yuca ber-oh panjang. Jari-jarinya memilin-milin rambut. "Ooh, gitu? Pantas, Ra. Tadi aku nggak sengaja dengar Junior ngomong sama Ramon."

Terra refleks memutar tubuhnya menghadap Yuca.

"Junior maksa Ramon jenguk Dasa gitu. Mereka bahas-bahas pesan terakhir atau apalah-apalah. Mungkin disuruh jenguk di tempat rehab kali, ya."

Terra tiba-tiba ingat pesan Whats App Dasa barusan. Keningnya berkerut-kerut. Apa Dasa mengirimkan semua orang pesan tentang 'kegalauannya'?

Terra kembali merogoh ponsel dan membaca pesan Dasa. Berkali-kali Terra membaca pesan itu dan mendapat kesimpulan: Dasa sedang ada di rumah ibunya.

Wait! Jadi yang menjemput dia kemarin ... ibunya?

Terra beristighfar karena baru menyadari fakta ini. Dasa pergi bersama ibunya.

Apa Dasa bohong padanya kalau dia mau rehabilitasi? Apa ibunya tahu kalau Dasa pecandu? Apa Terra harus memberitahu ibu Dasa kalau Dasa kecanduan narkoba?

Tapi, kalau tidak tahu, apa maksud Junior memaksa Ramon menjenguk Dasa?

Terra bimbang. Rasanya, ia ingin sekali menghubungi ibu Dasa dan menanyakan apa yang sudah terjadi. Namun, akal sehatnya mencegah.

Ini bukan urusan kamu, Terra. Dasa sudah bertemu Bu Elfira. Tugas kamu sudah selesai. Berhenti larut dalam kehidupan orang lain.

Das-Ter✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang