2. Kembali

1.6K 207 45
                                    


    “Lo udah seminggu nggak minum obat.”

    Dasa segera menolah saat Windu ‘merusak’ acara mukbangnya di ruang tengah. Saat menyadari benda apa yang tengah dipegang saudaranya itu, Dasa meringis.

    “Gue—”

    “Lo kenapa, Das?” sela Windu. Raut wajahnya sangat serius, tapi tenang dan tanpa amarah sedikit pun. Kadang Dasa heran, sikap bak malaikat Windu itu turunan dari mana? Baik ayah ataupun ibunya, semuanya tipikal orang dengan emosi meledak-ledak.

    “Lo tau dari mana kalau gue berenti minum obat?” tanya Dasa acuh tak acuh, lalu menggigit jepit kepiting yang dipegangnya dan memakan isinya.

    “Gue ngitungin obat lo tiap hari. Takut lo nelennya serampangan dan OD,” jawab Windu sembari membawa dirinya duduk di samping Dasa.

    Dasa hanya menggumam tak jelas sambil terus mengunyah daging kepiting di mulutnya.

    “Udah seminggu ini obat lo nggak berkurang sama sekali,” ucap Windu lagi.

    Alih-alih menanggapi, Dasa malah menawarkan kepiting bakar jumbo dan lobster di depannya pada Windu.

    “Gue udah makan. Lo tuh kenapa sih, Das?”

    “Gue?” Dasa meletakkan kembali kepiting di tangannya ke nampan berukuran jumbo. Alisnya terangkat selama tiga detik. “Gue kenapa sih? Gue sehat gini. Nih, lagi makan seafood.”

    “Lo berenti konsumsi obat pasti ada alasannya kan, Das? Gue—”

    “Gue nggak kumat, Du. Gue nggak pernah kepikiran buat nyakitin diri gue lagi. Gue cuma mau berenti gantungin diri sama obat. Gue mau berusaha hidup normal.

    “Gue mau … gue mau perjuangin cita-cita gue.”

    Windu menghela napas. “Kalau lo mau berenti minum obat, harusnya lo konsultasikan ke Dokter Dante. Gue takut, berenti mengonsumsi anti depresan tiba-tiba kayak gini bakal berdampak besar buat lo.”

    Dasa tertawa. Tangannya yang penuh saus digunakan untuk memukul pipi Windu. “Sa ae lu, Tong.”

    “Das—” Kalimat Windu tak selesai. Ia menghela napas lagi sambil mengusap wajahnya—yang berlumur saus—dengan lengan jaket.

    “Sejak kapan lo mulai cerewet kayak nenek-nenek gini sih, Du?”

    “Sejak adek gue balik dari neraka dan divonis depresi.”

    Dasa tertawa getir.

    Balik dari neraka, ya?

    Tiba-tiba Dasa ‘rindu’ pada ‘penjaga neraka’ yang menyiksanya itu. Sejak ia tahu fakta yang mati-matian disembunyikan ayahnya, dan sejak mimpi buruknya hilang, entah kenapa … Dasa juga seperti kehilangan sesuatu.

    Ia pernah berharap, sekali saja, ia ingat dengan jelas wajah papahnya. Ingat wajah seorang yang memberikannya setitik kehidupan. Biar bagaimanapun, ia harus berterima kasih pada laki-laki itu. Tapi kenapa, hanya seringaian yang melekat dalam memorinya?

    “Das.” Suara Windu yang agak tinggi menyentak lamunan Dasa.

    “Hmh?”

    “Lo udah tau belum, bulan depan Mama nikah.”

    Kepala Dasa menoleh refleks ke arah Windu. Bibirnya sedikit terbuka, hendak mengatakan sesuatu. Namun, lidahnya terasa sangat kaku.

    Bahu Dasa terangkat beberapa detik kemudian. “Bagus lah.”

Das-Ter✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang