"Bukannya tuh anak diskors, Mon?" tanya Komar—cowok berkepala plontos dan berbadan kekar—pada Ramon saat melihat Dasa berjalan ke arah mereka.
Ramon hanya angkat pundak sembari tertawa. "Namanya juga orang kaya, Bang."
"Wah, lu harus protes ke Kepsek! Gak adil ini!" Komar mengompori. Namun, yang dikompori lagi-lagi tertawa.
"Enak banget ya jadi lu?! Kebal hukum! Udah buat temen gua babak belur, masih bisa melenggang bebas di sekolah. Harusnya lu diskors, tau!" Suara Komar menggelegar saat Dasa lewat di hadapan mereka.
"Lo iri sama gue? Udah tiga tahun gak naik kelas tapi ga bisa ngapa-ngapain?"
Dasa tersenyum menyungging, sedang Roman mendesis kesal. "Berani macam-macam nih bocah! Tubuh kurus kerempeng gitu berani nantangin Ramon cs?"
Dasa tertawa. "Yang mulai duluan siapa sebenarnya, hah? Yang jadi dalang dari semua masalah siapa sebenarnya? Tanyakan itu ke temen lo!" Kata-kata itu ditujukan pada Komar, tapi tatapan Dasa mengarah pada Ramon.
"Lepasin, Bang! Jangan mau bermasalah sama anak orang kaya!" sindir Ramon.
"Halah! Gua nggak takut! Gua tau bokap lu bisa jeblosin gua ke penjara dengan duitnya yang seabrek!"
Dasa tertawa lagi.
"Gua nggak ta—"
"Sudah, Bang!" Ramon menyela ucapan Komar. "Jangan buang waktu!" Kata-kata Ramon terdengar menusuk. Sengaja ditujukan pada Dasa yang kini menatapanya dengan tatapan tidak tertebak.
"Kuy, cabut! Udah sepi nih. Nanti lapangan kerja kita terendus sama pihak sekolah," ucap Ramon sebelum meninggalkan Dasa.
"Sial!" desis Dasa seraya melorotkan tubuhnya, terduduk sambil bersandar pada tembok. Tangannya terulur membuka resleting tas selempangnya dan mengambil sesuatu dari dalam sana. Sebungkus rokok dan korek api.
"Na'udzubillah! Kamu sudah tidak waras?!" Suara Terra mengalun dalam telinga Dasa. Melengking penuh intimidasi. Bahkan, jemari cewek itu sudah berhasil merebut rokok yang dipegangnya.
"Kenapa kamu membawa rokok ke sekolah? Ingin menambah daftar pelanggaran kamu?"
"Apa urusan lo sih?"
"Kamu ada masalah apa sama Ramon cs?"
"Lo tanya aja sama mereka. Masalah mereka sama gue apa? Kenapa kalo gue anak orang kaya? Mereka pikir gue seneng? Mereka pikir gue mau? Mereka pikir gue nggak malu bisa sekolah karena nyogok? Mereka pikir gue bahagia? Mereka pikir uang segalanya? Shit! Bullshit!" Dasa menarik napas panjang, lalu mengempaskannya dengan kasar. Kata-kata itu, meskipun didengarkan oleh Terra, tapi sebenarnya Dasa tidak sedang bicara dengan siapa-siapa.
"Saya minta maaf," ucap Terra, sontak membuat Dasa mendongak ke arahnya. "Saya tidak pernah merasakan menjadi kamu. Saya hanya bisa menghakimi dengan segala spekulasi yang ada dalam kepala saya. Tapi, setiap orang hidup dengan masalahnya masing-masing, Dasa. Saya, kamu, Ramon, siapa pun. Dan Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan hamba-Nya."
"Gimana kalo ini bukan cobaan? Gimana kalo gue diazab?"
"Mungkin Allah sedang membantu untuk mengurangi dosa-dosa kamu."
Dasa terbahak. "Dosa gue nggak mungkin diampuni," ucapnya seraya bangkit dari duduknya, menatap iris biru laut Terra lekat-lekat.
"Saya serius, Dasa Wardana!"
"Ya terserah lo deh, Ra. Gue udah terbiasa ngerasain yang namanya neraka dunia. Jadi gue nggak keberatan kalo harus ngerasain neraka lagi di akhirat. Itu pun kalo Tuhan dan akhirat benar-benar ada."
KAMU SEDANG MEMBACA
Das-Ter✔
Teen FictionMenurut kamu, apa Tuhan dan neraka itu benar-benar ada? ●●● Apa kamu percaya pada eksistensi Tuhan? Kalau Dasa, sih, tidak. Dasa punya pemahaman sendiri tentang Tuhan dan perkara-perkara ghaib yang dipercayai keberadaannya oleh orang-orang. Menurut...