25. Cahaya yang Redup

3.7K 273 82
                                    

"Kak Faris!"

Si empunya nama menoleh spontan. Keningnya mengerut. Tak biasanya Terra tersenyum selebar itu.

"Tadi Umi telepon, saya diminta ke supermarket membeli bahan untuk membuat kue kering."

"Kue kering? Ngapain?"

"Ole-ole buat Kakek dan Nenek, Kak."

Faris mendecak. "Ooooooh, pasti minta ditemani."

"Iya," respons Terra singkat.

"Tapi gue mau temani Abi check up dulu, sekalian mau pamitan sama Dokter Rahmat. Nggak papa kan, kalo lo ikut dulu ke RS? Nanti pulangnya baru singgah di supermarket."

"Memangnya tidak apa-apa kalau Abi ikut ke supermarket? Kalau Kak Faris tidak bisa, saya naik angkutan umum saja. No problem kok."

"Bareng saja, Ter. Abi tidak apa-apa kalau ikut singgah." Laki-laki berambut pirang dan bermata biru mirip Terra ikut nimbrung. "Abi sudah lama tidak ke supermarket."

Faris menepuk tangan satu kali. "Klop."

●●●

Rumah sakit tempat ayah Terra check up ramai. Tak henti-hentinya Terra mengucapkan 'innalillah' karena menemui banyak orang sakit dan kecelakaan. Pasien meninggal, pasien berlumur darah di atas brangkar, pasien di atas kursi roda ... berbagai jenis manusia dengan takdirnya masing-masing.

Bahkan rongga dada Terra terasa sempit saat ia melihat anak kecil tanpa kaki yang duduk di kursi roda. Wajahnya polos tanpa beban, seakan sudah siap menantang hari-hari yang berat dan pandangan sebelah mata orang-orang di masa depan.

"Windu?" Sepasang alis Terra mengernyit hampir bertautan saat melihat sosok yang mirip Windu sedang menyapa anak kecil yang duduk di kursi roda itu.

Terra memegang lengan Faris yang sedang mendorong kursi roda ayahnya.

"Kak Faris, saya mau pergi sebentar."

Langkah Faris terhenti. Ia menoleh. "Mau ke mana, Ter?"

"Saya lihat teman saya di rumah sakit ini."

"Oh." Faris menanggapi bingung. "Ya udah. Hati-hati nyasar. RS-nya luas."

Terra mengangguk. Ia segera menyalami ayahnya dan melangkah ke arah di mana ia melihat Windu. Sayang, Windu sudah menghilang saat Terra berada di sana. Anak kecil berkursi roda tadi juga sudah tidak terjangkau indera penglihatan Terra.

Terra melangkah cepat, menyusuri lorong tempatnya berpijak. Dan langkahnya terhenti setelah membaca "Ruang ICU".

Jantung Terra berdebar-debar, berupaya keras memompa darah. Matanya bahkan sudah memanas. Terra terus beristighfar, firasat buruknya makin menjadi-jadi.

"Terra?"

"Windu?" balas Terra ragu. Berusaha percaya kalau cowok bercelana abu-abu di hadapannya benar-benar Windu.

"Ter? Lo kenapa bisa di sini?"

"Saya temani Abi check up. Kamu lagi apa di sini? Siapa yang sakit, Windu?"

Windu membuka mulut selama beberapa detik, tapi tak kunjung mengatakan apa-apa. Sementara Terra diam menunggu. Ekspresi Windu membuat perasaannya makin gamang, dan sebuah nama yang menjadi tokoh utama dari prasangka buruknya terucap berulang kali dalam hati.

"Dasa, Ter," jawab Windu lirih, sekaligus sebagai pengiyaan dari firasat-firasat buruk Terra.

"Sakit apa?" cicit Terra.

Das-Ter✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang