"Makalah ini akan kita kumpulkan dua hari lagi. Jadi, kalaupun kalian malas kerja kelompok, saya harap kalian tetap memberikan sumbangsih. Karena sejatinya, ini kerja kelompok, dan saya ingin kita semua memberikan kontribusi, sekecil apa pun. Seperti baut pada bianglala, memang kecil, tapi jika tak ada, maka berakibat fatal ...."
Mendengar penjelasan Terra, Dasa jadi mengangguk-angguk. Bukan karena paham, tapi karena mengantuk.
Bisa nggak sih itu kalimat disederhanain dikit? Dia pikir lagi ngisi seminar, apa?
".... Jadi tolong kalian cari referensi sebanyak-banyaknya mengenai materi untuk kelompok kita dan kumpulkan pada saya besok."
"Harus pakai besok banget, ya, Ter?" Gladis mengusap-usap kening. "Gue kan ada pemotretan sepulang sekolah hari ini, Ter. Mana sempat nyusun tugas," lanjut Gladis.
"Tugas utama seorang pelajar kan belajar, Dis."
"Tapi itu karir gue, Ter." Gladis pasang tampang memelas.
"Gimana kalo lo ngurusin print out aja, Dis? Jadi kita-kita bakal ngasih Terra file, trus digabung and disunting. Nah, suntingan akhirnya lo print out dan permak sekece mungkin," usul Fathur, "termasuk biaya lo yang tanggung." Fathur nyengir sambil menaik-turunkan alis.
"Tapi guys, bukannya apa sih sebenarnya. Gue juga bisa kerja sendiri dan nebengin nama kalian semua dalam makalah. Tapi kan konsekuensinya kalian nggak bakal tau apa-apa tentang materi pelajarannya. Kita sekolah untuk mencari ilmu loh, bukan koleksi nilai. Ijazah cuma pelipur lara doang," ucap Windu.
Fathur garuk-garuk kepala sambil melirik ke arah Dasa yang mendengkus keras.
"Gue nggak cari ilmu! Sekolah cuma formalitas yang harus gue lalui biar dianggap manusia sama Bokap." Suara Dasa bergetar. "Kalo kalian nggak sudi masukin nama gue, serah kalian," lanjutnya sembari berdiri dengan wajah bersemu merah, lalu meninggalkan kelas dengan tangan mengepal.
Fathur, Yuca, dan Gladis saling tatap-tatapan, bingung harus bertingkah seperti apa. Sedang Windu menunduk dalam. Bertanya-tanya pada logikanya sendiri, 'Apa ia melakukan kesalahan? Apa ada yang salah dengan kalimatnya?'
Mungkin, satu-satunya orang yang tak tahu apa-apa di antara mereka hanyalah Terra. Dan Terra tak mau buang-buang waktu untuk memikirkan tingkah Dasa yang sama sekali tidak ajaib itu.
○❏○❏○❏○❏○❏○❏○❏○❏○❏○❏○❏○❏○
"Gue masih nggak habis pikir, kok lo akhirnya pasrah sama keputusan Pak Anwar, padahal awalnya ngotot banget nggak mau sekelompok sama—"
"Stop!"
Kalimat Gerald terhenti oleh selaan Dasa.
"Sorry, Bro," ucap Gerald dengan nada lebih rendah. Junior tertawa tanpa makna sambil menepuk pundak Dasa dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya memegang rokok yang baru saja ia isap.
Bel pulang sudah melengking sejak beberapa menit lalu, tapi mereka masih betah duduk di rooftop, menikmati batang-batang rokok yang entah kenapa selalu sukses mengatasi depresi mereka.
Dasa menghela panjang dan dalam. "Udalah, nggak usah dibahas," ucapnya tanpa memandang Gerald. Tatapannya fokus pada langit yang kelabu. "Bentar lagi ujan kayaknya, gue mau pulang."
"Lah? Udah mau pulang?" Junior yang baru saja mengepulkan asap rokok dari hidungnya bertanya. Dasa mengangkat pundak sebagai jawaban. Gara-gara motornya 'diopname', dia harus berjalan ke halte untuk menunggu bus. Sebisa mungkin, ia ingin menghindari hujan. Dasa tak suka hujan. Ia harus pulang sebelum hujan.
Ah, pulang. Pulang ke mana? Rumah? Dasa berdecih.
Harusnya rumah menjadi tempat yang selalu dirindukan. Namun, tempat itu bahkan tak pantas lagi disebut sebagai rumah. Bagi Dasa, rumah harusnya menjadi tempat untuk mengobati segala keringkihannya. Tapi tempat itu ... justru membuatnya makin ringkih.
Langkah Dasa yang cepat perlahan melambat saat menyadari siapa yang sedang duduk di halte.
Terra.
"Allahumma shoyyiban naafi'an[1]." Terra bergumam seiring dengan hujan yang menderas. Tanpa sengaja, ia menengok ke samping dan menemukan Dasa sedang berdiri di dekatnya.
"Kamu belum pulang, Dasa?"
"Menurut lo?" tanya Dasa sarkas. Bahkan tatapannya tak tertuju pada Terra, tapi pada jalanan yang basah.
"Kamu pulang naik apa?" Oho! Dasa tidak akan percaya kalau itu suara Terra.
"Motor kamu masih rusak, ya?" Suara Terra terdengar lagi. Terpaksa Dasa percaya. Tapi kok Terra tau kalau motornya rusak?
"Tau dari mana?"
"Kamu berdiri di sini pasti karena motor kamu rusak. Tidak mungkin karena ingin pendekatan dengan saya."
Dasa tertawa sebagai jawaban. Tapi dalam hati ia mengiyakan. Berdiri bersama hujan untuk 'pedekate' dengan Terra? Ia pasti sudah gila!
"Jemputan saya datang. Kamu ingin ikut, Dasa?"
Dasa melongo. Apa itu sebuah tawaran?
"Kamu ingin ikut atau tidak, Dasa?"
"Nggak."
"Kalau begitu saya duluan. Assalamu 'alaikum," ucap Terra seraya melangkah ke arah mobil hitam yang terhenti beberapa meter di depannya.
Mobil jemputan yang membawa Terra pergi telah menghilang dengan utuh dari pandangan Dasa. Dan kini, Dasa sendirian bersama hujan. Ah, bukan sendirian, tapi ramai-ramai bersama hujan. Suara berisik yang selalu sukses membuat Dasa kesepian
*
*
*
NOTE:
[1] Allahumma shayyiban naafi'an (Doa ketika turun hujan): Ya Allah, jadikanlah hujan ini bermanfaat
KAMU SEDANG MEMBACA
Das-Ter✔
Teen FictionMenurut kamu, apa Tuhan dan neraka itu benar-benar ada? ●●● Apa kamu percaya pada eksistensi Tuhan? Kalau Dasa, sih, tidak. Dasa punya pemahaman sendiri tentang Tuhan dan perkara-perkara ghaib yang dipercayai keberadaannya oleh orang-orang. Menurut...