Entah berapa lama Dasa terkurung di lorong gelap itu sebelum tubuhnya terempas ke lantai kotor. Yang Dasa tahu, mimpi buruknya datang lagi.
"Jangan nangis! Lo mau mati?!" Laki-laki tak bermata dan berhidung itu berteriak keras. Amarahnya membuncah. Bahkan tangannya tak segan mencambuk punggung anak kecil di hadapannya dengan ikat pinggang.
Bocah kecil kurus, menyedihkan, dan penuh luka yang baru saja mendapat cambukan menangis tanpa suara. Bibir bawahnya digigit kuat-kuat untuk menahan tangis.
"Benar-benar datangin sial! Gue udah bilang ke ibu lo yang nggak tau diri itu buat gugurin lo! Tapi dia bego banget! Kalau gini gue yang harus tanggung semuanya!" Suara ikat pinggang beradu dengan kulit kembali menggema.
"Kenapa lo harus lahir ke dunia ini? KENAPA?!"
Pada akhirnya, anak kecil itu menangis semampu yang ia bisa, tanpa mempedulikan fakta bahwa tiap tetes air matanya akan dibalas dengan cambukan. Dasa berkali-kali merutuk laki-laki itu. Ayah mana yang tega menyakiti anaknya seperti itu?
"LO HARUS MATI!" teriak laki-laki itu sambil melemparkan tali pinggangnya ke lantai dan menendang perut anak kecil itu dengan keras. Lolongan anak kecil itu terdengar pilu. Dalam teriakannya, Dasa mendengar bisikan lirih penuh dendam.
"Dasa?" Bisikan-bisikan itu berganti menjadi suara yang tidak asing. "Bisa dengar saya?"
Dasa bisa merasakan kembali jemarinya, bergerak tanpa komando lebih dahulu dari otak. Lalu genggaman hangat di tangannya terasa sedetik kemudian. Kelopak matanya bergerak pelan. Gradasi blur menjadi pemandangan pertama, lama-lama makin jelas. Atap-atap putih menjadi pemandangan selanjutnya, dan suara tak asing tadi kembali terdengar.
Dasa menggerakkan bola mata, melirik ke arah kiri, dan mendapati seorang laki-laki berwajah ramah sedang tersenyum padanya.
Kelopak mata Dasa terbuka penuh. Ia sudah terbebas dari mimpi buruk. Tapi rasa sakit yang ia rasakan dalam mimpi masih terasa hingga ke dunia nyata. Das butuh botol ajaibnya sekarang juga.
"Diperiksa dulu, ya, Dasa."
Dasa bergeming, tak melawan, tak juga memberikan respons apa pun.
"Bagaimana keadaan dia, Man?"
"Alhamdulillah. Stabil. Saya permisi, ya, Har. Kalau ada apa-apa, call saja, oke?"
Dasa kembali menoleh ke kiri, dan mendapati Rahardi tengah duduk di samping bangkar dengan tangan terlipat di dada, kaki kanan dinaikkan ke atas lutut kiri, dan tatapan yang tak diharapkan Dasa sama sekali. Di samping Rahardi juga ada Windu, yang menatap Dasa seperti biasanya. Tatapan penuh rasa kasihan.
"Papa ngapain di sini?" tanya Dasa lirih.
"Kamu yang ngapain?!" Kening Rahardi mengernyit. "Sakaw di sekolah?! Apa-apaan itu, Dasa?" Rahardi menghela panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar. "Papa terpaksa menyogok sekolah agar merahasiakan masalah ini! Jadi sampai kapan papa harus mengeluarkan uang haram untuk kamu?
"Kamu benar-benar tidak bisa diandalkan! Kamu tidak ada gunanya!"
Dasa menggigit bibir keras-keras. Ingin kabur saja! Ingin lenyap saja! Tapi akhirnya Dasa sadar, tangan dan kakinya terikat.
Dasa menggeram, emosinya makin menjadi. Suara-suara yang hendak diteriakkanya ia tekan sekuat mungkin.
"Sejak kapan kamu konsumsi barang laknat itu, hah?! Apa kamu tidak bisa berhenti bikin masalah? Apa kamu tidak bisa berhenti menjadi beban pikiran papa? Sehari saja, Dasa. Sehari saja biarkan papa hidup dengan tenang tanpa mencemaskan kamu!" Rahardi memegang dadanya setelah meluapkan segala emosi yang ditahannya.
"Pa." Sambil mengelus punggung Rahardi, Windu menatap Dasa penuh harap agar tak melawan dan membuat suasana makin memanas.
Dasa mendengkus. Ia sudah cukup bersabar selama ini. Ia tidak bisa lagi. Saat emosinya meledak seperti ini, yang bisa menenangkannya hanya botol ajaibnya. Tapi sekarang botol ajaib itu takkan pernah bisa membantunya lagi. Ia sudah ketahuan. Lalu apa yang akan dilakukan ayahnya setelah ia ketahuan menjadi pecandu? Membuangnya ke jalanan? Menyeretnya ke kantor polisi? Atau menyembunyikannya di rumah, agar orang-orang tak pernah tahu kalau pengusaha sukses single parent seperti Rahardi Yaqdan punya anak yang tidak berguna? Budak narkoba pula!
Sekuat tenaga Dasa mencoba bangun dan menggigit infusnya sendiri sampai tangannya berdarah dan membuat Rahardi kembali berang. Rahardi segera menekan tombol darurat hingga seorang laki-laki mengenakan snelli tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan itu.
"Har, ada apa?!" Raut panik sang dokter tergambar dengan jelas dalam tangkapan netra Dasa. Oh, si pemilik suara asing yang menenangkan tadi.
"Infusnya tuh." Rahardi mendengkus.
"Dokter ... saya bu-butuh obat," ucap Dasa pelan.
"Obat apa, hah?! Apa saking bodohnya hingga kamu tidak tahu kalau itu narkoba?!" Tatapan Rahardi nyalang ke arah Dasa.
"Papa cuma bisa menyalahkan! Harusnya Papa tanya kenapa saya bisa jadi pecandu! Saya begini karena Papa."
Sesaat, bola mata Rahardi membelalak. "Oh, jadi semua salah papa?!" Lalu ia mengehela keras. "Harusnya kamu memang ikut mama kamu!" ucapnya sebelum melangkah keluar dari ruang rawat Dasa dan membanting pintu dengan keras.
Windu mengusap wajah. Ia tak mengatakan apa pun, tapi tatapannya mengisyaratan kalau ia sedang menyalahkan Dasa.
"GUE MAU MATI! GUA MAU MATI!"
"Tenang, Dasa. Dengarkan saya baik-baik." Dokter Arman memegang pundak Dasa. "Slow down. Jangan emosi. Tenangkan pikiran kamu.
"Jangan melukai diri untuk mengobati kecemasan. Kamu cuma akan menyakiti diri kamu dan orang-orang yang peduli pada kamu, Dasa."
Dasa diam. Siapa yang peduli padanya? Bahkan dia sendiri tak peduli lagi pada dirinya sendiri. Selama ini, setelah ia memutuskan untuk berhenti mengonsumsi barang laknat itu; tiap kali perasaan cemas menggerogoti akal sehatnya, tiap kali emosinya hendak meledak dan membakar apa saja; obatnya hanya satu: menyakiti diri sendiri hingga ia lega. Hanya dengan itu, ia bisa menyingkirkan sesak dalam rongga dadanya.
"Jangan bertengkar sama ayah kamu, Das. Dia itu mukanya aja Rambo, tapi hatinya Rinto. Rinto si penyanyi lawas itu."
Dasa mendengkus. Berhati Rinto apaan?
"Saya permisi dulu," ucap Dokter Arman. "Windu, jaga adik kamu baik-baik. Apa pun yang dia katakan jangan digubris. Dia sedang sakaw. Jangan buka ikatannya, jangan pancing emosinya, dan kalau Dasa bertindak membahayakan lagi, panggil saja saya, oke?" ucap Dokter Arman pada Windu, tapi tatapannya lurus ke arah Dasa.
Dasa menutup mata, jengkel.
●●●
"Das, berenti pura-pura tidur. Ada Junior sama Gerald di luar."
Dasa tetap menutup mata. Ia tidak peduli meski Windu mengatakan kalau Ramon yang datang menjenguknya. Ia sedang melancarkan aksi protes. Sebelum ikatannya dibuka, Dasa tidak akan bicara dengan siapa pun.
"Bro, lo lagi ngambek, ya?" Tepukan keras Junior menyentak Dasa. Matanya terbuka spontan dan mendapati cengiran Junior. Di sampingnya ada Gerald yang sedang berkacak pinggang.
"Etdah nih bocah. Lo kenapa lagi sih, Das?" Tatapan Gerald padanya pias. Sial, temannya yang satu itu selalu saja membuatnya tidak enak.
"Terra nitip pesan, katanya hape lo nggak bisa dihubungi," tambah Junior sembari menyodorkan ponselnya.
Terra: Koh, saya ingin titip pesan buat Dasa. Boleh?
Me: Boleh kok, Ter.
Terra: Dasa, are you okay?
Apa kamu sedang terkena azab?
Semacam ...
"Azab Siswa Bandel Yang Suka Tidur di Dalam Kelas"?
Dasa mengulum bibir untuk menahan tawa. Kalau saja ia tak sedang melancarkan aksi ngambek, ia ingin tertawa terbahak-bahak.
Thanks, Ra. Lo ngubah banyak hal dalam hidup gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Das-Ter✔
Teen FictionMenurut kamu, apa Tuhan dan neraka itu benar-benar ada? ●●● Apa kamu percaya pada eksistensi Tuhan? Kalau Dasa, sih, tidak. Dasa punya pemahaman sendiri tentang Tuhan dan perkara-perkara ghaib yang dipercayai keberadaannya oleh orang-orang. Menurut...