8. Sudut Lain

4.2K 472 23
                                    

Untuk kesekian kalinya, Dasa mengembuskan napas setelah menariknya dalam-dalam. Sudah hampir 15 menit ia berdiri di depan rumah bergaya minimalis dengan pagar warna putih itu. Tangannya mencengkeram terali, menunggu keputusan final dari hati dan otaknya yang tengah berseteru; memencet bel atau pulang.

"Dasa? Dari tadi?"

Dasa berjengit. Kaget karena Terra tiba-tiba berdiri di dekatnya. Ia ingin bertanya, "Lo keluar lewat mana?" atau "Sejak kapan lo berdiri di situ?" atau pertanyaan lainnya yang mungkin takkan dijawab dengan normal oleh Terra. Jadi, Dasa memilih bungkam.

Terra segera membuka pintu pagar dan mempersilakan Dasa masuk. Gamis model payung berwarna merah muda yang dikenakannya melambai tertiup angin, pun kerudung hitam sepinggang yang ia kenakan. Tampak manis dari belakang.

"Ayo masuk!" ucap Terra setelah membuka pintu rumah. Bola mata biru lautnya berbinar seperti orang yang sedang tersenyum. Tidak ada pilihan bagi Dasa selain masuk ke dalam rumah itu.

Rumah Terra sebenarnya biasa saja. Yang membuatnya istimewa adalah suasana islami yang menyambut Dasa saat masuk ke dalam. Gambar ka'bah, kaligrafi, Alquran, tasbih-tasbih, dan segala sesuatu yang membuat perasaan Dasa menjadi lain. Suasana rumah itu terasa nyaman, entah dari sisi mana.

Setelah melewati ruangan yang diduga Dasa sebagai ruang tamu, tibalah mereka di ruangan yang didominasi warna putih dengan TV 70 inchi sebagai ikon utama. Seorang remaja laki-laki yang usianya lebih muda dari Dasa dan Terra sedang serius menyimak berita sore. Wajahnya mirip dengan salah satu orang pada foto keluarga Terra.

Foto keluarga yang turut menghiasi ruangan itu berukuran besar. Tidak digantung di tembok seperti foto keluarga pada umumnya, melainkan diletakkan di atas meja putih berhias bunga-bunga plastik di pinggirnya. Bola mata Dasa mengamati lekat foto itu. Mereka tampak bahagia.

Pada foto itu, seorang lelaki bernetra seperti Terra sedang duduk di sebuah kursi cokelat, tersenyum sambil memegang tangan perempuan berwajah Indonesia asli dan berkerudung mint yang duduk di sampingnya. Di belakang mereka ada Terra yang tersenyum manis, diapit dua laki-laki yang salah satunya sedang duduk menonton TV. Di depan orang tua Terra berdiri dua bocah perempuan dengan wajah identik, memamerkan gigi-gigi ompongnya. Mereka semua mewarisi netra biru laut sang ayah, kecuali laki-laki berjanggut tipis dan berambut gondrong yang tersenyum lebar di sebelah kiri Terra. Garis wajahnya mirip sang ayah, tapi memiliki kulit kuning langsat dan mata cokelat tua sang ibu—khas Indonesia.

"Pasti enak punya keluarga yang sempurna," ucap Dasa spontan. Terra diam sejenak, mengamati wajah Dasa dari samping, lalu tersenyum tipis.

"Keluarga yang sempurna tidak ada. Yang ada, hidup menjadi sempurna karena kita memiliki keluarga," ucap Terra dengan seulas senyum. Tipis dan singkat. "Keluarga saya juga seperti keluarga lain. Tidak sempurna. Abi lumpuh karena kecelakaan saat saya kelas dua SMP. Jadi Umi terpaksa menggali berkas-berkas lama, mencari ijazah dan sertifikat-sertifikatnya untuk mencari kerja. Keluarga kami tidak sama lagi sejak saat itu."

"Keluarga lo yang lain ke mana? Om? Tante?"

"Umi anak tunggal. Kakek dan Nenek sudah tua, hanya mengandalkan uang pensiun untuk membiayai hidup. Sedang keluarga Abi non muslim. Mereka tidak setuju kalau Abi masuk Islam. Sampai sekarang, Abi dan kami semua masih belum bisa diterima oleh keluarga Abi di Belanda."

Dasa berdehem singkat. Ia iri pada Terra yang selalu tampak 'bahagia' tanpa tumpukan beban di wajahnya. Padahal, ternyata ia juga memiliki masalah.

"Tiap manusia memiliki ketidak beruntungannya masing-masing. Dalam mengenyam pendidikan misalnya." Terra mengalihkan pembicaraan. "Ada yang menggebu, tidak punya biaya. Ada yang punya biaya, tapi tidak menyadari keberuntungannya itu. Jadi ia tidak beruntung karena tidak menyadari keberuntungannya. Kamu mengerti maksud saya kan, Dasa?"

Das-Ter✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang