21. Perpisahan Tersirat

3.7K 426 40
                                    

"Motor kamu rusak lagi, Dasa?"

Dasa menoleh ke sumber suara. Buku yang sedari tadi ia baca segera ditutup, lalu disembunyikan di balik punggung. Setelahnya, ia berdiri, mempersilakan Terra duduk di bangku panjang yang sebelumnya ia duduki.

"Kamu tidak naik motor?" Terra bertanya lagi.

Dasa menjawab dengan gelengan.

"Kamu lagi ada masalah, ya, Dasa?"

"Mulai hari ini, gue berenti sekolah, Ra." Dasa menunduk.

"Oh." Terra ikut-ikutan menunduk, menghitung hentakan kakinya sendiri. "Kamu sakit?"

Dasa mengangkat wajah, menoleh ke arah Terra yang juga sedang menoleh ke arahnya.

"Sebelum kamu pingsan di kelas ... kamu kejang-kejang. Saya kha—"

"Gue pecandu narkoba, Ra," ucap Dasa lirih.

"SIALAN! GUE BILANG JANGAN CERITA APA PUN LAGI SAMA DIA! UDAH CUKUP KESABARAN GUE MENGHADAPI KEBUCINAN LO!" Pemilik suara dalam kepala Dasa melolong. Tiap lolongannya menimbulkan hentakan-hentakan dalam kepala Dasa. Tapi Dasa tidak peduli. Dasa tidak akan mengikuti kemauan benalu dalam kepalanya.

Dasa mengulum bibir sambil menahan sakit, menatap Terra selama beberapa saat, menunggu ekspresi apa yang kira-kira akan ditunjukkan cewek itu.

"Kemarin pas kejang-kejang itu ... gue sebenarnya lagi sakaw."

"Hmh." Ekspresi Terra tak berubah.

"Lo nggak kaget?"

"Saking kagetnya, saya tidak tahu harus men-setting ekspresi saya seperti apa."

Dasa diam.

"Saya pikir kamu hanya depresi," ucap Terra dengan tatapan yang sama sekali tak beralih dari mata Dasa. "Saya pernah kagum diam-diam pada kamu karena tidak merusak diri seperti anak-anak kekurangan kasih sayang lainnya."

"Lo kecewa, ya?"

"Setiap orang berbuat kesalahan. Mereka tidak buruk karena itu. Yang buruk kalau mereka sudah sadar melakukan kesalahan tapi tidak bertaubat."

Dasa tertawa tanpa suara. Mungkin Terra takkan puas jika tak menyindirnya sehari saja.

"Saya tidak menyindir, tapi sedang blak-blakan," ucap Terra, seakan tahu apa yang sedang dipikirkan Dasa.

"Banyak pertanyaan dalam kepala saya tentang kamu yang saya tahan berbulan-bulan."

"Karena hari ini gue sedang baik dan nggak niat marah-marah, jadi lo boleh nanya ke gue," ucap Dasa sambil mengangkat dua jarinya.

"JANGAN BEGO!" Suara dalam kepala Dasa kembali terdengar.

"Dua pertanyaan."

"Kenapa kamu menjadi pecandu? Kenapa kamu menyakiti diri kamu sendiri seperti itu?"

"BEGO!"

Telinga Dasa berdenging. Ada sentakan-sentakan keras dalam kepalanya. Tapi tekadnya untuk bercerita pada Terra sudah bulat. Setidaknya, sekali saja dalam hidupnya, ada orang yang bisa Dasa tempati untuk berbagi 'duri' yang selama ini ia pendam.

"Gue cuma akan bilang satu kali dan nggak akan pernah gue ulangi. Gue juga nggak akan menjawab pertanyaan apa pun setelah ini." Dasa menarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya.

"Jadi, sejak Mama pergi dari rumah, Papa lebih tempramen. Gue selalu jadi korban amukan. Nggak ada cinta dalam tatapannya. Yang ada cuma benci. Yang Papa pedulikan, gimana caranya merebut kembali Windu dari Mama. Berbulan-bulan Papa nggak pulang. Suatu hari, Papa pulang bawa Windu. Papa udah jarang ngamuk setelah itu. Papa juga berenti mabuk-mabukan. Gue nggak pernah jadi korban amuk lagi. Tapi Papa lebih ...." Dasa menelan ludah. "Dingin."

Das-Ter✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang