Untuk ke sekian kalinya, Terra mengembuskan napas untuk menghalau emosi. Berkali-kali ia meminta Dasa mengeluarkan buku catatan sejarahnya, tapi Dasa hanya diam sambil membolak-balik majalah otomotif Faris yang ikut nangkring di atas meja."Dasa, ayo belajar! Nanti Abyan marah lagi kalau lama. Dia ingin keluar bermain bola dengan teman-temannya."
Dasa tetap bungkam. Majalah Faris ia tutup, letakkan di tempatnya semula, dan mengambil majalah lain.
Astagfirullah. Terra menggeram dalam hati.
"Kamu kesurupan jin bisu, ya? Kalau malas belajar, pulang sana!"
Dengkusan keras keluar begitu saja dari hidung Terra. Sebisa mungkin, ia berusaha mengontrol dirinya untuk tak meledak sekarang juga. Banyak hal yang harus ia kerjakan. Bukan cuma duduk menatap orang yang tidak mau bicara padanya, bahkan tak mau melihatnya.
"Kamu mau es krim, ya?"
Wajah Dasa terangkat. Keningnya mengernyit. Lalu mendengkus beberapa saat kemudian.
"Lo pikir gue anak kecil?"
Terra tertawa. Singkat dan tidak keras.
"Alhamdulillah. Akhirnya pita suara kamu menyelesaikan semedinya."
Dasa mendengkus lagi. Tangannya mulai bergerak membuka resleting ranselnya dan merogoh sebuah buku bersampul biru tua dan sebuah pulpen.
"Sebenarnya kamu kenapa? Salah saya apa hingga kamu marah pada saya?"
"Siapa yang marah?"
"Mendiami saya seperti itu namanya apa kalau bukan marah?"
Suara Terra menghilang begitu saja tanpa jawaban, terbawa angin, lenyap. Sunyi kembali menguasai. Jangan ditanya berapa level kejengkelannya pada cowok yang duduk diam di depannya itu. Dari skala 1 sampai 10, nilainya 12! Ingin rasanya Terra memaki!
"Dasa, apa kamu pernah memaksakan diri untuk belajar hingga ingin muntah?" tanga Terra tiba-tiba.
Pundak Dasa terangkat. Ia jawab dalam hati.
Ya!
Selalu!
Tiap malam!
"Kadang gue malas ngasih jawaban. Karena pada akhirnya, orang selalu mengira kalau jawaban itu cuma alasan. Trus, ngapain nanya kalau ujung-ujungnya nggak mau percaya?"
Meskipun kalimat itu didengar oleh Terra, tapi sebenarnya tidak ditujukan padanya. Dasa hanya mengeluarkan segala beban yang ia tampung sendiri dalam lidahnya. Kalimat yang selama ini ia penjara agar tidak keluar. Namun, pada Terra ... entah kenapa ... Dasa bisa mengeluarkan semuanya dengan mudah. Tanpa berpikir, tanpa pertimbangan, tanpa rasa berat sedikit pun.
"Tidak semua hal harus dimasukkan ke dalam hati. Kalau 'kata orang' benar, ikuti saja. Kalau salah, tidak usah dipikir. Kalau semua 'kata orang' harus kita permasalahkan, hidup kita akan sengsara, Dasa."
"Kak, cepetan dooong!" Abyan bersungut. Ia segera bangkit dari tempatnya duduk, lalu bergabung bersama Terra dan Dasa. Diempaskannya tubuhnya di samping Terra, duduk bertopang dagu, dan menatap Dasa tanpa berkedip.
Dasa mengernyitkan alis. Radarnya menangkap sinyal-sinyal bahaya. Netra biru Abyan tidak mau lepas dari wajahnya. Kenapa? Tuh bocah mau mengusirnya? Dasa tidak bisa lagi positif thinking.
"Kak Dasa bukan korban pertamanya Kak Terra." Kalimat tidak terduga terlontar dari lisan Abyan.
"Oh, ya? Yang pertama siapa?" tanya Dasa iseng. Tidak penting sih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Das-Ter✔
Teen FictionMenurut kamu, apa Tuhan dan neraka itu benar-benar ada? ●●● Apa kamu percaya pada eksistensi Tuhan? Kalau Dasa, sih, tidak. Dasa punya pemahaman sendiri tentang Tuhan dan perkara-perkara ghaib yang dipercayai keberadaannya oleh orang-orang. Menurut...