5. Luka, Luka, Dasa

5K 568 40
                                    

"Enak banget, ya, jadi anak orang kaya? Bolos seenaknya, nggak kerja tugas pula! Bokapnya tinggal suap, rebes deh!" Doni, salah seorang anggota geng pembuat onar di SMA Merdeka berteriak lantang ketika Dasa lewat di depan tempat tongkrongan mereka.

"Jangan bawa-bawa bokap gue, Berengsek!" Dasa yang sedang badmood terpancing. Tangannya mencengkeram kerah seragam Doni.

"Lo yakin mau hajar gue? Mau nambah pelanggaran lo?" Doni tertawa mengejek.

Hampir saja bogem Dasa melayang ke wajah Doni. Untung, Ramon—si ketua genk—tiba-tiba datang dan menghentak tangan Dasa dengan keras.

"Jangan sentuh teman gue! Berurusan sama teman gue sama artinya berurusan dengan gue!"

Dasa mendengkus keras. Ia ingin tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Ramon.

"Lo nggak mau dikeluarin dari sekolah bareng gue lagi kan, Dasa Wardana?" Bibir Ramon menyungging, membuat urat-urat Dasa mengendur. Keinginan Dasa untuk tertawa pun lenyap.

"Kenapa? Lo takut? Lo takut bokap lo bakal dipanggil lagi ke sini dan ngebuktiin kalo lo anak yang selalu bikin masalah dan dibenci bokap lo sendiri?"

Tangan Dasa mengepal.

"Gue kasihan sama lo. Berharap kasih sayang dengan bolos sekolah? Cih! Dasar anak te—"

Bugh! 

Emosi Dasa tidak terkontrol lagi. Tangannya yang sejak awal terkepal melayang spontan ke wajah Ramon.

"Lo juga anak terlantar!" sembur Dasa. "Lo udah nggak punya apa-apa! Semua yang lo punya ninggalin lo."

"Bangsat!" Ramon membalas secepat kilat. Tangannya yang terkepal kuat mendarat di pelipis Dasa. Berkali-kali. Setelahnya, bukan hanya pelipis, tapi juga hidung dan ujung bibir.

Dasa tidak mau kalah. Ia balas memukuli Ramon dengan membabi buta.

"Stop! Stop!" Terra yang tiba-tiba muncul berusaha melerai mereka.

"Das—" Belum selesai kalimat Terra, penglihatan tiba-tiba mengabur, lalu ... gelap.

⚫⚫⚫

Kelopak mata Terra terbuka perlahan. Gradasi yang semula blur mulai bertaburan warna. Dan senyuman Yuca-lah yang pertama menyambutnya.

"Nggak papa kan, Ter?" Suara lembut Yuca terdengar lirih. "Hidung kamu sakit, ya? Untung agak meleset tadi. Kalau nggak, bisa patah."

Terra menyentuh hidungnya. Ya, memang sakit. Pipinya juga agak nyeri. Tapi kena—ah, ingatan Terra yang sempat terdistorsi mulai kembali.

Tertonjok.

"Yuca ...." Itu bukan suara Terra, melainkan suara orang ketiga yang kepalanya kini muncul di balik pintu. Pelipis dan pipinya lebam, sedang ujung bibirnya sobek dan membengkak. Bahkan seragamnya yang biasanya rapi sudah lecek sana-sini.

"Ra, lo ... lo udah—"

"Selamat, Dasa! Saya masih hidup, dan masih akan mengganggu hidup kamu!"

"Sorry. Gue nggak sengaja nonjok lo," ucap Dasa dengan wajah penuh penyesalan.

"Kamu berhutang karena telah menonjok saya. Karena itu, kamu harus membayarnya sewaktu-waktu."

"Gue akan tanggung perawatan lo di rumah sakit. Hidung lo nggak patah, kan? Pipi lo agak bengkak sih. Tapi, baik-baik aja, kan? Lo juga masih galak kok kayak biasanya."

Kening Terra mengernyit. Kenapa Dasa tidak menyangkal tuduhannya? Padahal Terra ingat dengan jelas kalau Ramon-lah yang menonjoknya.

"Tetap saja kamu berhutang, Dasa."

Das-Ter✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang