Jam tangan Dasa masih menunjukkan pukul 06.30. Lagi-lagi, ia sengaja bangun pagi agar tidak bertemu ayahnya dan Windu.
Harusnya, masih ada satu jam yang bisa Dasa nikmati sebelum mendengar bel masuk. Ia bahkan bisa singgah sarapan di salah satu warung yang menjual nasi kuning atau bubur ayam. Tapi Dasa tetap melajukan motor seperti orang kesetanan.
Speedometer Dasa sudah menunjuk angka 180. Dan di depan sana, ada truk yang bergerak cepat. Dasa ingin menyalip, tapi otaknya tiba-tiba saja punya suara dan mengatakan, "Tabrak truk! Tabrak truk!"
Dasa yakin, bukan 'suara astral' itu yang berkata, tapi benar-benar otaknya.
"Kenapa?"
"Tabrak truk! Tabrak truk!"
Dasa tiba-tiba penasaran, bagaimana rasanya masuk ke kolong truk dan terseret ratusan kilometer?
Dasa tersenyum tipis. Khayalannya mulai melunjak. Tangannya bergerak cepat membuka helem, memegangnya dengan tangan kiri, lalu menambah kecepatan motor; bersiap-siap menabrak truk yang tinggal beberapa meter di depannya. Namun, dari jarak lima meter, seorang laki-laki berambut gimbal dan berpakaian compang-camping tiba-tiba saja menyeberang. Dasa kaget dan membelokkan stan motor ke kiri.
Semuanya terjadi dengan begitu cepat. Dasa tidak ingat bagaimana kronologi kecelakaan yang dialaminya. Tiba-tiba saja, ia sudah jatuh dari motor, lengan kanan menyentuh aspal pertama kali; disusul wajahnya, entah sebelah mana; terseret sekitar setengah atau satu meter.
Tubuh Dasa mati rasa selama sekian detik, tapi ritme jantungnya biasa saja.
Pemilik warung di pinggir jalan beserta pengguna jalan yang lain berlomba menghampirinya. Sebagian menonton, sebagian merekam, sebagian membantu Dasa.
"Dek, nggak papa?" tanya seorang bapak dengan sisa-sisa koran jualan di tangan. Sedang seorang pengendara yang masih memakai helem menyodorkan sebotol air mineral.
Dan rasa nyeri itu tiba-tiba datang menghampiri Dasa. Mungkin dari lutut. Atau betis. Atau kaki. Dasa tidak tahu. Kaki bagian kirinya penuh darah dari lutut sampai mata kaki. Sedang kaki kanannya tidak mengeluarkan darah, tapi celananya di bagian lutut sobek.
"Bapak-bapak yang hampir saya tabrak tadi ...tidak papa?" Dasa bertanya balik. Matanya menyisir keadaan sekitar. Hampir saja kenekatannya mencelakakan orang lain. Dasa kapok ugal-ugalan di jalanan. Untung kalau ia yang mati. Kalau orang lain, bagaimana?
"Adek kecelakaan tunggal kok. Tiba-tiba saja jatuh. Untung adek nggak balap-balap tadi," jawab pengendara motor yang masih menyodorkan botol air mineral, "nih, minum dulu, Dek."
Dasa menggerakkan tangan untuk menolak botol yang disodorkan bapak itu.
Jatuh sendiri? Tidak balap-balap? Dasa berusaha mencerna apa yang telah terjadi.
Apa gue halu lagi?
"Motornya rusak parah kayaknya, Dek. Di depan sana ada bengkel. Titip di situ aja."
Dasa mengangguk. Motornya memang rusak parah.
"Saya antarkan ke puskesmas, ya, Dek," ucap bapak itu lagi.
Dasa lagi-lagi mengangguk untuk mengiyakan.
"Nggak jadi mati hari ini, ya?" Suara itu datang lagi, membuat telinga Dasa berdenging.
"Lo emang nggak niat, kan?" Intonasi suara dalam kepala Dasa meninggi. "Pengecut!" Dan telinga Dasa makin berdenging.
Siapa lo, sok tau banget tentang gue? Suka banget rusuhin hidup gue?
KAMU SEDANG MEMBACA
Das-Ter✔
Teen FictionMenurut kamu, apa Tuhan dan neraka itu benar-benar ada? ●●● Apa kamu percaya pada eksistensi Tuhan? Kalau Dasa, sih, tidak. Dasa punya pemahaman sendiri tentang Tuhan dan perkara-perkara ghaib yang dipercayai keberadaannya oleh orang-orang. Menurut...