“Dasar anak gak guna! Kenapa lo lahir ke dunia ini? Lo cuma bisa ngundang banyak masalah dalam hidup gue!"
“Ampun, Pah!”
“Napa nangis? Lo cuma bisa nangis tiap hari! Kapan lo mati hah?!”
“Sakit, Pah!”
“Lo mati aja! Mati lo! Mati lo!”
Dasa tersentak. Barusan, ia seperti terhisap lorong waktu, lalu diempaskan gravitasi. Tangannya refleks menyentuh dada. Merasakan jantungnya yang berdebar kencang. Untuk beberapa detik, Dasa lupa caranya bernapas.
“Akhirnya bangun juga, Das. Lo pingsannya lanjut tidur, ya? Lama banget.” Junior menyambutnya.
Dasa tidak menyahut. Lidahnya kelu. Seluruh tubuhnya sakit. Yang paling parah di bagian perut. Dan ah, bibirnya nyut-nyutan.
“Das?” Gerald mengibaskan tangan ke depan wajah Dasa. “Pak Rudi nyuruh kita bawa lo ke rumah sakit. Kali aja ada luka dalam atau gimana.”
“Lo berantem sama Ramon kenapa, Das?”
Kesadaran Dasa yang hampir terenggut kembali lagi saat mendengar pertanyaan Junior. Ia tersedak salivanya sendiri.
Ramon? Semuanya nyata?
“Ramon yang nelepon gue tadi,” lanjut Junior.
“Das, ke rumah sakit, kuy.” Gerald membujuk. “Siapa tau ada luka dalam.”
Dasa tidak menyahut. Dipejamkannya matanya dengan erat. Berusaha membendung air mata yang memaksa keluar, meski pada akhirnya ia tidak berhasil. Dan pada akhirnya, Dasa membiarkan air matanya berderai tanpa berniat menghapusnya.
●●●
"Kamu yakin ingin les hari ini? Yakin bisa fokus belajar dengan luka-luka seperti itu?"
"Iyaaa," jawab Dasa malas-malasan. "Muka gue cuma. Tangan gue nggak patah. Dan kepala gue masih ada."
"Baiklah. Hari ini kita quiz. Dua puluh nomor saja."
"Jangan gila dong!" Tanpa sadar, intonasi Dasa naik beberapa oktaf. "Quiz apaan? Gue nggak belajar apa-apa. Lama-lama lo bisa ngalahin kesadisan Pak Anwar. Mending gue les private sama Pak Anwar kalau gini."
Terra melipat tangan di dada. Tatapannya lurus ke arah Dasa.
"Kenapa sih kamu malas belajar? Sebodoh-bodohnya orang, tidak mungkin mendapatkan nilai nol estafet pada mata pelajaran yang sama."
"Sumpah, ya, Ra! Lo tuh cewek paling berisik yang pernah gue temui."
Terra mengendikkan bahu. Tak peduli.
"Saya yakin kamu tidak bodoh. Dan saya tidak ingin men-judge kamu tanpa tahu alasan kamu yang sebenarnya melakukan semua pembangkangan ini."
"Orang tuh cuma bisa menilai dari luar. Suka mencap orang lain seenak dengkul. Gue salah satu korbannya. Karena udah dicap, jadi gue bener-bener ngebuktiin cap mereka." Dasa mengembuskan napas kesal di akhir kalimatnya.
"Belajar tiap malam sampai muntah-muntah untuk UTS hingga dapat nilai 80 pun dituduh nyontek. Gimana nggak kesal? Gue udah terlanjur dicap bego. Apa pun yang gue lakuin nggak bakal ngerubah apa pun di mata orang-orang. Ya udah, gue mending jadi bego aja. Apa bedanya belajar atau nggak bagi gue?”
"Dasa, kita belajar bukan untuk orang lain, tapi untuk diri kita sendiri. Menuntut ilmu itu hukumnya fardhu kifayah. Meskipun sudah banyak orang yang sekolah, tetapi pahalanya tetap ada."
KAMU SEDANG MEMBACA
Das-Ter✔
Teen FictionMenurut kamu, apa Tuhan dan neraka itu benar-benar ada? ●●● Apa kamu percaya pada eksistensi Tuhan? Kalau Dasa, sih, tidak. Dasa punya pemahaman sendiri tentang Tuhan dan perkara-perkara ghaib yang dipercayai keberadaannya oleh orang-orang. Menurut...