10. Drama Pagi Hari

3.7K 420 30
                                    

Ada yang tidak pernah hilang ketika pagi datang. Kenikmatan yang dihadirkan oleh embun sisa malam. Kenikmatan yang hanya akan tinggal sebentar, lalu menguap dan tercemar polusi kota.

Pagi adalah dia yang selalu setia datang, meski ia juga tahu, bahwa pada akhirnya gelap akan memangsanya. Tapi tidak apa, karena esok, pagi akan datang lagi. Tidak kenal jera. Mungkin karena ia selalu datang itulah, maka manusia menyepelekan keberadaannya. Lalu, bagaimana jika kita tahu bahwa esok hari, pagi takkan datang? Masihkah akan kita sia-siakan pagi ini? Masihkan akan kita abaikan ia dengan bangun siang hari? Atau mengumpatnya, mengapa pagi datang terlalu cepat dan memaksa kita mengucek mata, melakukan rutinitas membosankan, menghadapi dunia nyata?

Mengapa pagi datang begitu cepat?

Dasa tidak ingin mengumpati pagi seperti hari-hari sebelumnya. Ia memutuskan untuk menghargai pagi mulai hari ini. Dan mungkin, mulai hari ini pula, ia akan menjadi pecandu pagi. Menikmati pagi sebelum ia tertelan terik. Menikmati pagi sebagai ajang kabur dari acara sarapan bersama keluarga yang pura-pura bahagia. Ah, tidak. Ayahnya dan Windu memang bahagia. Dialah yang tidak. Dialah yang pura-pura.

Sendirian.

Terra muncul dari dalam kelas saat Dasa hendak masuk ke dalam. Sapu ijuk tergenggam erat di tangannya. Terra hanya diam saat beradu tatap dengan Dasa, lalu berjalan melewati Dasa tanpa mengatakan apa-apa.

Dasa mendengkus setelah Terra berlalu tanpa mengatakan apa-apa. Dilangkahkannya kakinya ke dalam kelas, lalu diempaskannya tubuhnya pada kursi.

"Kak."

Dasa menoleh. Seorang adik kelas berkacamata dan rambut terikat rapi berdiri canggung di samping bangkunya. Gadis itu menggigit bibir sambil menyodorkan sebuah kotak bekal pada Dasa dengan tangan gemetar.

Dasa tidak sempat bertanya, karena gadis itu pergi secepat kilat.

Siapa? Fans barunya? Atau fans lama yang baru memberanikan diri untuk menyapanya? Dasa bahkan belum sempat berterima kasih.

Tak mau ambil pusing, Dasa segera membuka tutup kotak bekal tersebut. Lambungnya yang nyeri karena tidak mendapat jatah makan sejak semalam sudah memohon-mohon.

Oh, Sandwich.

Dasa segera melahap sandwich itu.

Setelah sandwich ludes, barulah Dasa sadar kalau ada selembar kertas terbungkus plastik. Sepertinya sengaja diletakkan di bawah sandwich.

Mungkin surat cinta, seperti biasanya. Demi menghargai si penulis, seperti biasa, Dasa akan meluangkan waktu untuk membaca surat yang ia dapatkan dari penggemarnya.

Pasti kamu belum sarapan. Gratis kok. Bayarnya nanti. Sepulang sekolah. Bukan dengan uang. Tapi hafalan.

Eits. Tidak boleh menolak. Sandwich-nya sudah habis.

Dasa mendengkus.

Surat nista!

Ini sih ulah Terra.

Bule licik! Dasteran pula! Dasa mengumpat dalam hati. Tapi sisi lain dari hatinya merasa ... entah. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam sana.

○❏○❏○❏○❏○❏○❏○❏○❏○❏○❏○❏○❏○

"Kemarin ngilang ke mana, sik? Bikin nggak nafsu makan aja," omel Junior pada Dasa. Dasa hanya mengangkat pundak. Junior pun bertanya tanpa niat kuat. Malahan tangannya sibuk mengusap layar ponsel, mengecek followers instagramnya, mencari yang cantik untuk dijadikan korban modus.

Lain Junior, lain Gerald. Tidak seperti Junior yang selalu tampak cuek dan tidak peduli tapi memendam dalam hati, Gerald selalu terlihat peka.

"Lo nggak mau periksa ke rumah sakit, Das?" tanya Gerald, basa-basi. "Luka lo nggak sembuh-sembuh tuh. Kali aja gula basah." Gerald tertawa. Cukup keras hingga membuat Junior mengangkat tangan dan memukulnya.

"Berisik."

"Lo kalo punya bakat tinju tapi nggak punya uang buat beli samsak, pinjam uang Junior aja, Das. Ga usah diganti."

"KUTU!" Junior mengumpat, tapi sempat pula melirik luka pada tangan Dasa yang bukannya sembuh, malah makin melebar. "Sekalian aja gue yang lo jadiin samsak, Das. Dedek relaaaa ... hoo ooo dedek relaaaaaa."

"Udah, suara lo fales," ucap Dasa datar, sembari menyembunyikan tangannya ke saku celana. Risih, karena sedari tadi tatapan Gerald tertuju ke sana.

"Nanti infeksi, Das." Kali ini, nada bicara Gerald terdengar serius. "Setidaknya obati."

Dasa tak menimpali. Ia menunduk, pura-pura mengamati ubin yang berwarna putih dengan motif kotak-kotak.

"Menggelikan amat sik kamu, Gea!" celetuk Junior, berusaha membunuh sepi di antara mereka. Pada akhirnya, jika Gerald dan Dasa saling mendiamkan seperti itu, selalu Juniorlah yang bisa meredakan situasi.

"Diam kamu, Arjunior!" balas Gerald.

"Bagaimana adinda bisa diam jika tatapan Kakanda membuat bibir adinda ingin terus mengoceh?!"

"Aduh, please! Gue mau muntah!" Gerald menutup mulutnya dengan tangan. Mual yang dirasakannya benar-benar mual dalam artian sebenarnya tanpa candaan.

"Lo ke psikiater gih, Jun," ucap Dasa sambil memukul pundak Junior.

Junior balas memukul Dasa dengan gaya banci, ngondek, "Aduh, pelis deh, Cintrong. Ekeuw bekong-bekong sajong."

"Junior ... silent, please!"

Junior tertawa terbahak melihat dua sahabatnya sedang menatapnya jijik, lalu merangkul mereka berdua dengan erat meski keduanya pura-pura meronta ingin lepas.

Di antara mereka bertiga, Juniorlah yang paling 'terlihat' ceria. Tanpa beban. Tanpa masalah. Tanpa ada yang tahu, apa yang bersembunyi di balik senyumannya yang lebar.

Yang mereka bertiga lakukan hanyalah saling menipu satu sama lain.

Persahabatan macam apa? Dasa berdecih.

"Lo kenapa sih, Das? Jijik amat sama gue. Hahahah." Junior tertawa setelah mendengar decihan Dasa. Pura-pura oon lebih baik daripada menunjukkan kepekaan seperti Gerald dan membuat Dasa makin menjauh.

"Gue rindu kita yang dulu," ucap Junior pada akhirnya.

Gerald berdehem. Sedangkan Dasa menghela dalam. Sangat dalam, hingga ia lupa menghirup oksigen lagi selama beberapa jeda. Dadanya menjadi sesak seketika. Ia juga rindu persahabatan mereka yang dulu.

"Jangan ada yang hilang lagi di antara kita," ucap Junior lagi.

Sebagai pembuka upacara hening di antara mereka.

Das-Ter✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang