“Terajana, gaspoooool—eh, maksud eyke gaswat! Yey dipanggil kandacu Gandhi. Aduh aduh aduuuuh.”“Kok bisa? Apa gegara nggak ikut OSPEK?” tebak Bianca yang duduk di samping Terra.
“I dunno, Casablanca.” Ariel mengibas-ngibaskan tangan. “Ter, buruan deh yey ke sekret BEM FIS, jangan sampai kandacu Gandhi berubah jadi Hulk sebelum elo datang. Duh, mana tuh lekong mukanya seyem bingid, datar kayak tembok. Untung cakrabirawa.”
“Elo yang lekong, Duyung. Nama gue Bianca, bukan Casablanca.” Bianca memutar bola matanya.
Tak mau repot mengurusi perdebatan dua teman kelasnya itu, Terra segera ke sekret BEM FIS. Tempatnya di bagian belakang kampus, berderet bersama sekret-sekret HMJ di FIS.
Saat Terra tiba di sana, beberapa mahasiswa duduk di bangku depan sekret, mengepulkan asap rokok, dan tampak serius mendiskusikan sesuatu. Benar-benar ‘image’ mahasiswa aktivis di mata orang-orang: diskusi dan asap rokok. Padahal tidak semua.
“Sebelum demo rektorat, kalian pertimbangin baik-baik deh. Sekarang jamannya pake otak, bukan otot. Lo lo pada mau jadi korban konspirasi lagi? Nggak kapok?”
Terra menoleh saat mendengar suara yang familier itu. Mirip suara orang yang sering terdengar di rumahnya. Terra mengenalinya dengan cepat. Bagaimana tidak, ia rapi sendiri di antara mahasiswa berambut panjang dan berkaus oblong.
Terra pikir kawan-kawan kakaknya hanya ikhwan-ikhwan bercelana cingkrang. Ternyata dia juga berteman dengan mahasiswa-mahasiswa bercelana jins robek-robek dan berambut sarang burung. Tidak heran sih, mengingat rambut Faris sebelum jadi dosen juga gondrong dan membuat Terra geregetan ingin memangkasnya sampai botak saat dia tidur.
“Jadi gimana, Kanda?”
“Mending bikin petisi.”
“Petisi amat, Kanda.”
“Birokrasi lagi baper, Bung. Apalagi, makin ke sini makin banyak aja ‘preman nyempil’ saat kita demo. Kalau kalian bisa jamin nggak akan ada penyusup, atau setidaknya nggak bakal terprovokasi sama mereka dan demo nggak berakhir rusuh kayak minggu lalu, silakan. Gak capek lo semua difitnah tukang rusuh mulu padahal bukan lo yang ngerusuh?”
Terra mencoba abai pada obrolan kakaknya dengan para aktivis kampus itu. Setelah mengucapkan basmalah, ia melongokkan kepalanya di ambang pintu—yang tak tertutup.
“Assalamu’alaikum.”
Sekretariat BEM FIS tidak luas, tapi peralatan di dalam sana diatur sedemikian rupa agar penghuninya merasa nyaman. Ada sebuah lemari buku, dua printer, dua sofa, satu meja, karpet, AC, dispenser, kulkas, rak piring dan kompor gas.
“Wa alaikumussalam warahmatullah.”
Di dalam ruangan ada tiga orang, dan semuanya cowok. Dua di antaranya sudah dikenal Terra. Yang duduk di karpet sambil menatap laptopnya dengan serius adalah Alan, presma BEM universitas. Yang duduk di sofa sambil nyengir-nyengir kayak kuda adalah orang yang namanya sama dengannya; Bumi. Jadi, cowok berambut cepak, berjanggut tipis, bercelana cingkrang, dan bertampang datar yang duduk di samping Bumi itu pastilah Gandhi.
“Ada apa?” tanya Gandhi datar.
“Saya Syakilah Terra, Kak. Maba Sejarah.”
“Oh, lo yang nggak ikut OSPEK itu? Kenapa?” Gandhi to the point.
“Cewek cantik jangan ditakut-takutin, Bro,” ucap Bumi sambil menepuk pundak Gandhi. “Eh tapi, kayaknya sih dia nggak takut.”
Gandhi tak merespons Bumi. Ia masih menatap Terra untuk meminta jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Das-Ter✔
Teen FictionMenurut kamu, apa Tuhan dan neraka itu benar-benar ada? ●●● Apa kamu percaya pada eksistensi Tuhan? Kalau Dasa, sih, tidak. Dasa punya pemahaman sendiri tentang Tuhan dan perkara-perkara ghaib yang dipercayai keberadaannya oleh orang-orang. Menurut...