18. 'Hening'

3.4K 378 77
                                    

"Dasa, ini Pak Dir. Beliau yang akan mengantar-jemput kamu ke sekolah dari Senin sampai Sabtu," ucap Rahardi di meja makan pagi ini sambil mempersilakan laki-laki paruh baya berotot kekar untuk duduk di kursi samping Windu, tepat di depan Dasa. Windu berhenti sesaat dari aktivitas mengunyahnya untuk menyalimi Pak Dir. Sedang Dasa tak mau peduli. Ia terus mengunyah nasi goreng yang sudah ia masukkan ke dalam mulutnya. Kenapa juga ayahnya tiba-tiba berinisiatif membayar orang untuk mengantar-jemputnya?

"Mobil yang baru Papa beli kemarin untuk itu?" Windu bertanya dengan antusias.

"Iya. Kamu juga mau mobil baru, Win?"

"Papa sengaja?" Oh, Dasa ingin membenturkan kepalanya ke tembok karena lancang bertanya.

"Maksud kamu?" Nada Rahardi seketika mendingin, tak sehangat saat ia bicara pada Windu.

"Biar Papa bisa mengontrol pulang-perginya saya, kan?" Tanggung, Dasa memutuskan mengeluarkan unek-uneknya. Mood-nya memang sedang tak baik. Ralat, sangat tidak baik.

"Bagus kalau kamu tahu. Kamu sadar tidak rutinitas kamu tiap hari? Pergi sekolah kesiangan, pulang tengah malam! Mau jadi apa, hah?! Jadi papa rasa, papa harus ambil tindakan untuk menghentikan sikap seenak kamu itu!"

Siapa yang suka seenaknya sebenarnya? Dasa mendumel dalam hati.

"Saya tidak mau, Pa."

"Membangkang saja terus! Motor kamu papa sita!"

"Terserah Papa." Dasa menjawab malas.

"Kamu tidak akan dapat uang jajan! Jalan sana ke sekolah!" Rahardi meledak. Sendok yang digenggamnya ia lemparkan ke piring Dasa.

Dasa meletakkan sendok yang digenggamnya sebelum beranjak dari kursi dan pergi begitu saja."

"Tidak tahu diri! Anak tidak tahu terima kasih!" teriak Rahardi.

Tak peduli pada teriakan ayahnya, Dasa terus melangkahkan kaki. Menjauh.

●●●

"Gimana, Mon? Lu kagak dikeluarin kan?" sambut Komar saat Ramon datang di tempat tongkrongan mereka.

"Baru dibicarain, Bang. Gue dipanggil ke ruang kepsek cuma buat denger ceramah doang."

"Lu nggak seharusnya bentengi diri demi gua. Pelanggaran lu udah banyak. Kalau lu dikeluarin dari sekolah gimana?"

Pundak Ramon terangkat setelah mendengar kalimat Komar. "Buat gue, sekolah atau nggak, nggak ada masalah buat gue. Tapi lo, Bang, orang tua lo nyimpan harapan yang besar ke lo."

Ya, harapan yang gue sia-siakan, Mon. Gue sering marah ke mereka karena mereka miskin. Komar membatin.

"Gue cuma perlu cari uang yang banyak agar adek-adek gue bisa makan, sekolah, dan hidup layaknya anak-anak lain." Ramon menghela. Ia teringat kedua adeknya yang SD dan SMP. "Sekolah tinggi-tinggi juga percuma. Ujung-ujungnya gue harus ngalah karena adek gue harus sekolah."

Komar melipat tangan. Tatapannya dari wajah Ramon ia alihkan.

"Tanpa dikeluarkan pun, suatu saat gue juga akan keluar sendiri. Lagian, sampai kapan kita mau jajan pakai uang palakan? Gue—"

"Kenapa lu berubah kayak gini sih? Mana Ramon yang gua kenal? Gua kenal Ramon versi lain sekarang. Siapa lu? Yang ada di hadapan gua siapa?" Nada Komar naik beberapa oktaf.

Yang di hadapan lo Ramon yang asli, Bang.

Hampir saja kalimat itu terlontar dari lisan Ramon, tapi urung karena Dasa tiba-tiba berdiri di hadapannya.

Das-Ter✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang