7. Antara Dasa dan Sejarah

4.5K 462 47
                                    

"Dasa Wardana. Nilai quiz: nol."

Selembar kertas dengan angka nol besar melayang bebas sebelum jatuh di meja Dasa.

"Dari 20 nomor, memangnya tidak ada yang kamu tahu satu nomor pun, Dasa?"

Dasa menghela pelan. Ia memang sengaja mengosongkan lembar jawaban quiz-nya.

"It's none of your business."

"But I'm care of you, Dasa."

"Gue nggak butuh dipedulikan!" Dasa setengah membentak. Untung siswa yang lain sudah pulang. Kalau tidak, mungkin Dasa dan Terra akan memberikan tontonan gratis pada teman-temannya.

"Luka di jari kamu bisa infeksi kalau tidak diobati," ucap Terra lagi, mengalihkan pembicaraan. Tanpa berpikir panjang, Dasa segera bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar kelas.

"Kalau membentak saya kepuasannya sama dengan melukai diri sendiri, lakukan saja, Dasa! Saya tidak keberatan. Lampiaskan saja semuanya pada saya hingga kamu puas," ucap Terra yang kini mengikuti langkah Dasa. 

"Sok tahu!" Dasa mengumpat, tapi sangat lirih dan hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.

"Kamu masih memiliki hutang pada saya 'kan? Saya ingin menagihnya sekarang. Boleh?"

Langkah Dasa terhenti seketika. Ia segera menoleh. "Buruan bilang, lo mau apa?"

"Ternyata kamu cukup bertanggung jawab, ya?" Terra tersenyum. Seharusnya manis, tapi malah tampak janggal dan creepy di mata Dasa. "Mulai sore ini, kamu akan les private sejarah dengan saya."

"Lo bercanda?"

"Apa ekspresi wajah saya seperti orang yang sedang bercanda?"

Dasa mendecak." Gue rasa lo bukan orang yang sedang butuh uang hingga harus maksa gue buat nge-private sama lo."

"Oh, came on! Private sama saya gratis. Apa kamu melupakan kata-kata Pak Anwar Sulaiman? Nilai seorang anggota akan berpengaruh pada nilai teman kelompoknya. Kalau nilai kamu nol terus, nilai saya dan teman-teman yang lain juga akan terkena imbasnya."

Dasa menghela pendek. Mendadak ia merasakan pening di kepalanya. Pelajaran yang paling tidak ia sukai adalah sejarah. Bukan karena materinya selalu panjang dan membicarakan tahun-tahun serta nama orang. But, it just a past. Hanya masa lalu yang tidak usahlah dibahas dengan terlalu lebay. Alasan lainnya: masa lalulah yang tidak pernah mau berdamai dengan Dasa.

"Dan saya tahu kalau kamu bukan orang yang sudi merugikan orang lain." Suara Terra terdengar lagi dan membuat telinga Dasa berdengung.

"Gue benci orang munafik," ucap Dasa lirih, "dan gue akan benci diri gue sendiri kalau gue memiliki sikap itu. Oke, sampai kapan gue bakal nge-private sama lo?"

"Sampai kita naik ke kelas tiga."

Dasa tertawa meski tidak ada sedikit pun selipan humor dalam kalimat Terra. Ia bisa gila.

"Atau sampai kamu bisa dapat nilai delapan pada quiz sejarah selanjutnya."

Alis Dasa terangkat sebelah. "Les di mana?"

"Rumah Saya. Nanti saya kirim alamatnya di WA."

"O—" Kalimat Dasa terhenti, disela oleh kekagetennya sendiri karena menyaksikan Ramon cs sedang memalak. Tanpa berpikir panjang, Dasa segera meninggalkan Terra dan menghampiri mereka.

"Gak ada tobatnya lo, ya?!" Dasa berseru. Ditariknya tangan Komar yang mencengkeram pundak Fendi, siswa kelas X yang sering—ralat, terlalu sering—jadi korban bullying.

"Kampret!" Komar mengumpat keras. Sedang kawanannya yang lain hanya melipat tangan di dada sambil pasang tampang sok sangar.

"Lo salah apa sama mereka?" tanya Dasa pada Fendi.

"Jangan campurin urusan gua!" bentak Komar. "Lu gak usah pura-pura bego dan pura-pura gak tahu kalau gua makan dari hasil malak!"

Dasa tersenyum kecut. "Bahagia di atas penderitaan orang?"

"Dia bisa ngadu ke orang tuanya yang kaya dan dapat duit lagi. Bahkan dia bisa makan dengan enak di rumahnya. Trus apanya yang menderita?"

"Lo pikir dia disekolahin sama orang tuanya buat jadi bulan-bulanan lo? Lo pikir orang tuanya kerja keras untuk ngasih makan lo? Banyak cara bersih yang bisa lo pake buat nyari makan, bukan dengan nindas orang lain! Iri bilang, Boss!"

"Lu jangan pancing emosi gua, ya!" Komar menarik kerah seragam Dasa.

"Membuli orang yang lemah bukan bertahan hidup namanya, tapi membunuh diri sebagai manusia secara perlahan."

Komar terbahak. Sedangkan Ramon yang sedari tadi bungkam, kini mengepalkan tangannya kuat-kuat.

"Itu kata teman gue. Kata yang merubah hidup gue untuk selamanya!"

Ramon berdecih. "Lo nggak pernah berubah. Tetap aja muna!"

"Apa nggak kebalik?" ucap Dasa tanpa emosi. Tatapannya lurus ke arah Ramon, tanpa emosi pula.

Tak ingin payah menunggu reaksi Ramon, Dasa segera menyeret kakinya, melangkah lebar-lebar ke belakang sekolah, dan meninju tembok berkali-kali-meski luka-luka pada buku tangannya belum sembuh.

"Sialan!"

Dasa menghela kasar. Dibiarkannya tubuhnya luruh ke lantai berdebu, bersandar pada tembok berhias coretan tidak jelas, lalu menenggelamkan kepalanya di sela-sela lutunya yang ditekuk. Hanya deru napas Dasa yang terdengar. Sisanya ... hanyalah hening. Menangis bersama sunyi adalah kegemaran Dasa.

Das-Ter✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang