24. Kabar Buruk

2.7K 366 69
                                    

“Duh, ribet.” Yuca mengacak rambutnya. Kentang goreng berlumur saus di depannya hanya ia liati. “Aku kenapa salah nuang saus sih?!”

“Sini saya yang makan, Ka,” ucap Terra sambil menarik piring berisi kentang goreng milik Yuca.

Big thanks, Honey-cuuuu.”

Terra mulai memasukkan potongan kentang pertama ke mulutnya. Allahu Akbar! Ia mendesis. Pedas luar biasa. Bahkan sebotol air sudah habis ia minum, tapi sensasi pedas di lidahnya tak kunjung hilang.

“Pakai sambal super pedas, ya? Tukar dengan punya gue aja.”

Rasa pedas di lidah Terra hilang selama beberapa detik karena kaget. Kentang goreng di depannya sudah ditukar dengan kentang goreng tanpa saus milik Windu.

“Oh, jazakallaahu khoir.”

“Nope.” Windu tersenyum singkat sebelum meninggalkan meja Terra dan Yuca.

Selama sekian detik, Terra termenung. Senyum Windu hari ini berbeda dari sebelumnya-sebelumnya. Terlalu dipaksakan. Pias. Seakan ada beban berat yang tengah ia sembunyikan. Dan entah firasat dari mana, Terra tiba-tiba teringat pada Dasa.

Ya Allah. Semoga firasat saya salah. Semoga Dasa baik-baik saja, batin Terra.

“Ter? Pedasnya udah ilang? Kok bengong?”

Pertanyaan Yuca menyentak Terra. Namun, belum sempat Terra menjawab, Yuca sudah bicara lagi. "Oh iya, aku penasaran, tadi kamu ngurus apaan?"

“Saya mengurus surat pindah, Ka.”

What?!” Mata Yuca membulat. "Kamu mau pindah sekolah? Kok tiba-tiba, Ter?”

"Iya, Ka. Saya juga lumayan shock." Terra menghela napas. Ditatapnya Yuca pelan-pelan. "Saya akan pindah ke Belanda, Ka."

“Serius?”

Terra mengangguk pelan. "Iya, Ka. Kakek saya yang tinggal di sana sakit keras.” Terra menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. “Sudah semingguan ini beliau menyebut-nyebut nama Abi terus. Alhamdulillah, kabar baiknya, keluarga di sana sudah mau menerima kami, terutama Umi. Mereka bahkan mau membantu membiaya pengobatan dan terapi Abi."

"Jadi, kamu sekeluarga pindah?"

"Iya, Ka. Kecuali Kak Faris. Insya Allah, Kak Faris akan menyusul setelah wisuda. Rencananya, rumah kami di Jakarta akan dikontrakkan. Kak Faris kan juga jarang pulang ke rumah sejak tinggal di pondokan dekat kampusnya.”

"Kapan berangkatnya, Ter?"

“Insya Allah minggu depan.”

“Nggak ada rencana nengok Dasa di tempat rehabilitasi?”

“Ituu ….” Terra membenarkan kerudungnya. “Saya belum tahu, Ka. Mungkin tidak.”

●●●

"Gerald!"

Tinggal beberapa langkah lagi Gerald sudah sampai di samping mobilnya. Namun, langkahnya terhenti karena seseorang memanggil namanya dari belakang. Gerald segera berbalik dan menemukan wajah yang ia kenal tapi tak pernah berkomunikasi dengannya selama beberapa bulan sekelas.

"Windu?"

"Lo belum mau jenguk Dasa?"

Gerald membuang napas. "Gimana kondisi dia? Gue nggak mau jenguk kalau kondisinya belum membaik."

"Tolong jenguk Dasa sekali aja, Ger. Ajak Junior. Sama Ramon juga." Windu mengalihkan tatapannya dari Gerald, mengerjap pelan.

"Gue nggak sengaja nguping pembicaraan Papa sama dokter. Efek karena jatuh dari balkon nggak seberapa dibanding efek narkoba yang dia konsumsi bertahun-tahun. Tubuh Dasa udah benar-benar rusak karena pil-pil setan itu.”

“Bisa hidup sampai hari ini setelah OD dan loncat dari balkon adalah keajaiban.” Windu mengusap wajahnya. “But, mungkin dia nggak akan bangun lagi. Maksud gue, alat-alat itu cuma bikin dia berada antara hidup dan mati. Koma selamanya.”

Bullshit.” Gerald berucap lirih, lalu tertawa tanpa suara.

“Kalaupun bangun, mungkin dia akan lumpuh total.”

Hampir saja Gerald mengerang dan memukul kepalanya sendiri kalau ia tak ingat mereka sedang berada di parkiran. Gerald merasa gagal jadi sahabat.

“Lo ngerasa gagal jadi temen, ya, Ger?”

Gerald spontan menatap mata Windu. Bola matanya bersibobok dengan bola mata Windu yang sudah memerah. “Gue ngerasa gagal jadi seorang kakak, Ger."

Gerald mengulum bibir. Ditepuknya lengan Windu sekali sebelum tersenyum tanpa makna.

●●●

Das-Ter✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang