7. Teave (2/2)

3.8K 394 47
                                    

Teave

Tears and Leave


Because I'm like a fool
I can't even say that I love you because
We're afraid of the waits that come upon us
After we meet...
I'll be painful and sad

"Karena gue bodoh"

Nathan bermonolog, suara dentuman musik dan lampu yang gemerlapan tak lagi ia hiraukan. dituangnya kembali sebotol vodka kedalam gelas lalu diteguknya dalam sekali hingga tak ada sisa.

dia sesekali menyeringai entah ujung bibir kanannya itu untuk wanita dengan pakaian minim yang berlalu lalang di hadapannya atau terpatri untuk dirinya sendiri.

Kemejanya sudah tak karuan, Bau alkohol mulai mendominasi tubuhnya. Ujang sudah mengajaknya pulang karena menurutnya Cathaya gak akan datang meskipun sudah di hubungi dan jawabannya "saya kesana,"

"Mas-ayo pulang aja. Mba Cathaya kayaknya gak dateng"

"sampai kapanpun gue gak akan dimaafin kali ya Jang? Emang gue nya yang bego"

Satu teguk

"Mas, udah-jangan minum lagi ntar mabok"

"gue kangen dia jang, kangen banget. Gue emang bangsat"

Dua teguk

Matanya yang seakan terpejam dan kesadaran dirinya yang mulai hilang, ingatan itu perlahan-lahan kembali lagi.

Nathan masih ingat jelas bagaimana senja itu di Bandara.

***

Senja itu sambil menunggu waktu keberangkatan Nathan duduk sendiri. Iya, sendiri. Karena Nathan meminta waktu kepada keluarganya untuk menghabiskan beberapa hari di Jakarta sebelum akhirnya pindah ke Berlin.

Saat itu langit terlihat berawan dan mendung namun tak kunjung turun hujan, Nathan masih duduk disana padahal pesawat akan terbang dalam waktu 45 menit lagi. Ia masih menunggu Cathaya untuk datang.

Nathan menatap koper besar berwarna hitam miliknya dengan tatapan sendu. apalagi ketika melihat paspor dan tiket pesawat, rasanya ingin sekali ia membuang kedua benda itu jauh-jauh supaya tidak jadi berangkat ke Berlin.

Supaya ia tetap di kota ini bersama Cathaya.

15 menit berlalu, pengumuman keberangkatan menuju Berlin pun terdengar dari pengeras suara. Nathan menghela napas panjang sebelum akhirnya ia beranjak dari bangku lalu menarik kopernya.

"Nathan,"

Suara itu membuat langkahnya terhenti, suara itu terdengar seperti mimpi mengingat saat ini suasana Bandara cukup ramai.

Nathan menoleh kebelakang, ia mendapati seorang gadis berdiri tak jauh darinya mengenakan terusan selutut berwarna biru pastel. Namun tak ada senyum yang terukir di wajah gadis itu, begitu juga dengan kesedihan. Ekspresinya datar dan tenang.

Nathan masih terdiam di tempatnya sedangkan gadis itu melangkah mendekatinya. Sesampainya gadis itu di hadapannya, Nathan menarik kedua tangannya lalu digenggamnya erat.

Nathan menatapnya lama sampai akhirnya ia yakin kalau ia harus mengatakannya meskipun puluhan kali ia ingin menghujat dirinya sendiri.

"Cathaya, Maafin aku" ujarnya dengan suara pelan namun Cathaya masih bisa mendengarnya.

Cathaya melepaskan genggaman tangannya dari Nathan "Aku yang harusnya minta maaf, karena aku belum bisa buat kamu nyaman"

Belum bisa buat Nathan nyaman, Katanya.

TrilemmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang