Healing has no end point
No summation
No finish line to cross
Healing is every day work
The act of dedicating the self to
Surviving what happened to me
- Rupi Kaur
Satu bulan sudah berlalu semenjak ia mengetahui kabar pernikahan Mamanya dengan Om Hendra, dalam hati kecilnya masih belum bisa menerima kenyataan tersebut karena bagaimanapun juga Mamanya adalah figur yang sangat ia banggakan tapi kenyataan berkata lain membuat perasaan ia terhadap Mamanya berubah 180 derajat, bahkan saat ini ia meragukan apa masih ada rasa cinta dari dirinya untuk sang Mama?
Tapi ia tahu, sebesar apapun usaha yang ia lakukan itu tidak dapat merubah kenyataan bahwa semuanya tak lagi sama. Cathaya memperhatikan pantulan dirinya di depan cermin, rambut panjangnya kini sudah tersanggul dengan rapih, diam-diam ia cukup kagum oleh hasil karya sang penata rambut sementara itu ia memperhatikan wajahnya yang sudah dipoles make-up natural namun tetap menunjukan kesan elegan.
Cathaya menghela napas berat, dilihatnya Valerie sahabatnya yang kini berdiri tepat dibelakangnya "Lo udah cantik, yuk keluar Mama lo udah nunggu tuh" ia mengangguk mendengar perkataan Valerie, dengan rasa berat hati ia beranjak dari kursinya meninggalkan ruang make up yang kini sudah sepi.
Hari ini adalah hari pernikahan Mamanya dengan Om Hendra, bagaimanapun juga ia harus tetap tegar melihat sang Mama yang kini terlihat jauh lebih bahagia dari sebelumnya. Ada banyak perdebatan sebelum akhirnya Cathaya mau menyetujui pernikahan mereka.
Pesta diadakan di salah satu hotel bintang lima di Jakarta, tidak banyak tamu undangan yang datang karena baik sang Mama maupun Om Hendra hanya mengundang kerabat terdekat dan beberapa kolega.
Cathaya duduk tak jauh dari kedua mempelai, samar-samar telinganya dapat mendengar ucapan selamat dari setiap tamu undangan yang datang.
"Selamat ya Thalia dan Hendra, gak nyangka aku akhirnya kalian nikah juga"
"Ya ampun Thalia, laki-laki kayak Hendra tuh seribu satu, setia banget dia nungguin kamu dari jaman SMA"
Ucapan demi ucapan yang Cathaya dengar justru semakin membuat dadanya sesak dan ia merasakan palu godam memukulnya kepalanya.
Please gak nangis, gak boleh nangis! Cathaya menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya, ia meremas rok songket biru yang dipadukan oleh warna silver yang dikenakan nya.
"aku menyetujui pernikahan mama dengan satu syarat" siang itu Cathaya dan Mamanya bertemu disalah satu restoran di Grand Indonesia tanpa Hendra. Awalnya Thalia tidak percaya bahwa anak gadisnya, lebih tepat anak tunggalnya memberikan sebuah ultimatum.
Thalia menghela napas pelan, dalam hati ia memanjatkan berbagai macam do'a agar ia bisa memenuhi keinginan Cathaya "Jangan kenalkan aku sebagai anak Mama di pesta pernikahan kalian, cukup beberapa orang saja yang tahu, ini tidak akan sulit karena aku akan sembunyi saat pesta berlangsung"
Thalia membelalakan matanya "Cathaya! Kamu keterlaluan" ujarThalia sambil berusaha meredam emosinya "Kamu anak Mama-"
"dan Mama yang membuat aku seperti ini" potong Cathaya cepat sebelum Mamanya melanjutkan kalimatnya.
"Mama cukup bilang aku di London atau dimana terserah, yang pasti ini tidak akan sulit karena aku akan sembunyi saat pesta kalian berlangsung" Tegas Cathaya seraya memberikan penekanan pada kalimatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trilemma
Aktuelle LiteraturTrilemma (noun) : Logic. a form of argument in which three choices are presented, each of which is indicated to have consequences that may be unfavorable. Judul sebelumnya: Moonlight.