CHAPTER 17

1 0 0
                                    

Sudah seminggu semenjak Asaoka datang ke rumah. Mimpi-mimpi yang sebelumnya sering menghantuiku perlahan memudar. Hanya hantu Asaoka yang sekarang menghantui keluargaku. Di manapun kami sedang berada pembicaraan tentang Asaoka tak berhenti.
Aku bahkan mulai merasa keluargaku lebih care pada Asaoka dari pada anaknya sendiri. Aku mulai merasa muak dengan prmbicaraan tentang Asaoka.
Hari ini kepalaku sedikit pening. Sebenarnya tidak terjadi apapun yang membuat stres. Bukan Asaoka. Sekolah berjalan seperti biasa.  Hanya saja siang tadi para guru melaksanakan rapat mingguan. Cukup lama dan cukup menguras tenaga.  Sudah cukup sore untuk pulang ke apartemen. Kakiku terasa nyeri. Banyak orang yang sam. Sepertiku.  Mereka berjalan gontai di trotoar jalan pulang dari bekerja.  Wajah mereka mungkin sama denganku. Lusuh lelah dan tidak menyenangkan dipandang mata.
Konsentrasiku buyar ketika mulai memasuki gedung apartemen. Ada suara wanita tertawa di kamar sebelah.  Tetangga miaterius yang bahkan aku tak pernah bertemu. Bahkan dia sudah menolongku. Didepan pintu ada sepatu hak tinggi sebelah kiri.  Mungkin terjatuh ketika masuk terburu-buru.  Aaahhh... Apa yang sedang kupikirkan. Baru saja aku memencet password pintu kamar,  seorang wanita keluar dari pintu sebelah. Dia mengucapkan selamat tinggal dan berkata dia menemukan sepatunya. Wanita yang tinggi badannya mungkin hampir sama denganku. Tubuhnya indah semampai. Rok span pendek dengan hem biru muda melekat ditubunya. Rambutnya panjang bergelombang. Dan kami saling menatap.
"Hallo. " sapaku.
"Oh hai." jawabnya.  Tunggu.  Aku merasa aku mengenalnya.  Familiar.  Tapi aku tak mengingat apapun.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" dia bertanya dengan matanya yang sipit.
"Mungkin.  Tapi... Sepertinya belum. "Jawabku.
"Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa. Kita mungkin akan sering berpapasan. " dia membugkukkan badan dan berjalan pergi.
Aku mengiyakan dan membungkukkan badan. Berbalik menuju pintu. Tiba-tiba dia kembali dan mencengkeram tanganku.
"Maki?  Higashi Gakuen?" wajahnya meminta jawaban.
Siapa dia.  Bagaimana dia tahu namaku dan sekolahku dulu.
"Iya.  Benar. Anda...?" pertanyaanku menggantung.
"Pria itu..." wajahnya berubah jengkel dan dia kembali ke pintu sebelah dan menggedor pintu.
"Yaaaaa... Buka pintunya.  Bagaimana mungkin kau tinggal di sini hah? Aku benci padamu!!" dia berteriak begitu kencang hingga tetangga apartemen keluar. Aku tak bisa melakukan apapun.
"Nona.  Apakah kamu baik-baik saja?" tanyaku.
"Lebih baik kau masuk. " ucapnya sambil menangis.
"Oh.  Baik. " aku langsung pergi meninggalkannya. Masuk kedalam dan menutup pintu.  Aku mendengar pintu dibuka dan suara laki-laki membujuknya.  Dan setelah itu aku hanya mendengar pembicaraan tak jelas.  Dan aku tak ingin mendengarnya. Yang terpikir selanjutnya sampai aku terlelap adalah bagaimana wanita itu mengenalku..
Pembicaraan tentang insiden itu santer selama seminggu. Dan hari minggu ini tidak ada yang membicarakannya lagi. Insiden hari itu menghilang diganti dengan sesuatu yang baru.  Aku pergi ke rumah ayah ibuku untuk berkunjung. Sore itu aku sampai.  Ayahku sedang duduk dan ibuku mmbuat sesuatu di dapur untuk makan malam. Kami hanya bertukar kabar dan membicarakan beberapa hal.  Hingga topik yang tak kusukai muncul.  Asaoka.
"Malam ini Asaoka san akan datang. Kau tidak ada janji apapun kan? " ayahku membaca sebuah dokumen di tangannya tanpa melihat ke arahku.
"Kenapa dia datang? " tanyaku.
"Dia bertamu.  Dia tamu kita. " ibuku menengahi.
"Apa maksudmu Maki? " ayah melihat ke arahku.  Raut wajahnya berubah.
"Aku hanya.... Aku hanya tak suka dia datang." bahkan aku tak tahu mengapa.
"Kau bahkan tak punya alasan untuk menolaknya datang. "
Ibuku menyikutku.
"Aku tak suka kalian membicarakannya seolah-olah dia sesuatu yang pantas unyuk sering dibicarakan." aku berhenti.  Memandang mereka berdua yang hanya saling menatap.
"Tentu saja kami harus begitu Maki. Dia manager di tempat ayahmu bekerja. " ibuku mengatakannya begitu ringan.  Tapi aku bahkan tak habis pikir kenapa harus seperti ini.
"Anak kecil juga tahu jika alasannya seperti itu. " jawabku datar. Aku berdiri dan bermaksud untuk pergi.
"Maki.  Kami berencana menjodohkanmu dengannya. " suara ayahku begitu kabur hingga aku harus menengok ke belakang.
"Apa yang ayah katakan barusan? "
"Kami menjodohkanmu dengannya. " ayahku menatap lurus ke mataku.  Aku hanya diam mencerna apa yang baru saja kudengar.

EmoLostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang