S e b e l a s

2.4K 320 68
                                    

All I Ask - Adele

***

Savier melihat jam tangan yang ia kenakan di tangan kirinya. Jam menunjukkan pukul 15.30.

Bentar lagi waktunya pemakaman Papa. Batin Savier pelan.

Ia menghela nafas. Ia melihat Ibunya yang sedang duduk disebelahnya sambil di peluk oleh Tante Hana. Tatapan Ibunya kosong.

"Ma?"

Ibunya tidak menyahutinya. Savier lagi-lagi menghela nafas. Ia merasakan sakit melihat orang yang dicintainya begini. Belum lagi adiknya.

Tiba-tiba ia teringat Savia. Sejak teman-temannya datang ia berada di kamarnya. Savier segera pergi ke kemar adiknya.

Sesampainya di atas. Ia segera pergi ke kamar adiknya. Ia mencoba membuka pintunya. Dan ternyata di kunci. Savier mengetuk pintunya pelan.

"Dek?"

Tidak ada sahutan. Savier mencoba mengetuk pintunya lagi. Kali ini agak keras. Dan lagi-lagi tidak ada sahutan.

Savier menggedor pintu kamar Savia. Sambil terus memanggil nama adiknya itu. Ia takut jika adiknya di dalam sana kenapa-kenapa. Ia sudah mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintunya.

Saat Savier sudah ingin menabrakkan tubuhnya, tiba-tiba pintu kebuka dan menampilkan Savia dengan rambut yang acak-acakkan. Dengan iler yang bertebaran di wajahnya. Ia melihat Savier dengan muka cemberut.

"Apa sih? Berisik banget sih, Kak." Gerutu Savia sambil mengucek matanya.

Savier menghelan nafas lega. Ternyata adiknya tidur. Seketika ia menjadi merasa berasalah karena telah membangunkan adiknya. Ia baru menyadari bahwa Savia belum tertidur sejak kemarin.

"Dek?"

Savia menatap kakaknya kesal. "Apa?"

"Ga mau ikut ke pemakaman Papa?" Tanya Savier pelan. Seketika raut wajah Savia berubah.

"Jadi? Ini bukan mimpi?" Tanya Savia yang mendadak tatapannya menjadi kosong.

Savier hanya diam. Ia juga berharap bahwa semua ini mimpi. Ayahnya. Orang yang sangat ia banggakan sudah tidak ada lagi.

Hening beberapa menit. Hingga tiba-tiba Savia menghela nafas kuat. Ia memukul kedua pipinya dengan kuat. Savier melotot ketika melihat Savia melakukan hal tersebut.

"Oke. Gue ikut dong pasti. Mau liat rumah baru Papa gimana. Gue mau cuci muka dulu yah. Ini iler gue banyak banget." Kata Savia sambil tersenyum lebar.

Savia berjalan masuk ke kamarnya lagi. Dan menutup pintunya. Membiarkan Savier yang menatapnya dengan sendu.

Jika boleh jujur, Savier lebih suka Savia menangis sampai ia lelah. Daripada melihat adiknya pura-pura kuat seperti tadi.

Sedangkan Savia yang didalam tengah menahan tangisnya.

Ayahnya yang sangat ia sayangi telah pergi.

Ayahnya yang selalu memberikan senyuman hangatnya walaupun ia sedang lelah.

Ayahnya yang selalu meluangkan waktunya yang sibuk untuk keluarganya.

Ayahnya yang selalu cemburu jika melihat ibunya lebih perhatian kepada Savier daripada dia.

Dan setelah ini. Tidak ada lagi senyum hangat itu. Tidak ada nada cemburu yang selalu ia layangkan. Tidak ada lagi ayahnya yang selalu meluangkan waktunya. Tidak ada lagi.

Laf AmourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang