S e m b i l a n

2.3K 345 64
                                    

Sad Song - We The Kings
ft Elena Coats.

***

"Iya. Papa udah ga ada."

Seketika dunia Savia terasa runtuh. Ia tidak percaya apa yang Omnya ucapkan tadi. Ia masih mengguncang-guncangkan lengan ayahnya. Bahkan ia memukul lengan ayahnya kuat untuk bangun.

"Pa....bangun..jangan kayak gini. Bercandanya ga lucu, Pa. Bangun. PAPA BANGUN PA. PAPA JANGAN KAYAK GINI. HIKS." Savia memukul tangan ayahnya yang sudah mulai dingin.

Savia jatuh terduduk dengan air mata yang membanjiri wajahnya. Savier memeluk adiknya. Ia sangat tau. Savia sangat tertekan. Sama sepertinya. Tapi Savia jauh lebih tertekan. Ia tau itu.

"Dek." Panggil Savier lembut. Ia menahan air matanya. Ia ingin terlihat kuat didepan adiknya. Ia ingin menjadi sosok kakak yang sebenarnya untuk adik kecilnya ini.

Savia menjatuhkan kepalanya dibahu Savier. "Kak, ini cuma bohongan kan? Papa ga mungkin udah ga ada kan? Iya kan?"

Savier hanya mengelus pelan rambut Savia. "Ssttt. Itu fakta. Mau sampai kapanpun itu ga akan mengubah fakta, Dek. Papa udah ga ada. Tau, kita semua sedih disini. Bukan kamu aja. Bahkan Mama sampai masuk UGD karena Papa."

Walaupun aku berharap ini juga mimpi, dek. Batin Savier. Ia hanya tersenyum miris.

Savia menangis makin kuat ketika mengingat Mamanya yang sedang dirawat karena shock.

"Papa udah bahagia disana. Papa udah sembuh. Papa ga nahan sakit lagi. Sekarang, kita ga boleh sedih. Mama masih membutuhkan kita, ya? Kita harus kuat supaya bisa menguatkan Mama. Jangan sedih yah?" Kata Savier menghapus air mata yang berada di pipi Savia.

Savia mengangguk dan bangkit berdiri dibantu oleh Savier. Om Andy hanya memukul pelan bahu Savier. Savier hanya tersenyum.

❤❤❤

Jam sudah menunjukan pukul 11.00 pagi. Savia merasa pengap dirumahnya, Ia tidak pernah merasa tidak senyaman ini dirumahnya. Ia melihat orang-orang yang berpakaian hitam memeluk Ibunya dan sesekali menyapa Kakaknya atau dirinya. Sekedar memberi ucapan berduka.

Ia muak dengan pemandangan ini. Ia tidak suka. Savia menatap sekali lagi wajah pucat Ayahnya yang sekarang terbujur kaku di depannya, wajah Ayahnya terlihat sangat tenang dan damai. Ia tersenyum miris.

Ia memikirkan. Bagaimana bisa ayahnya itu pergi dengan sangat tenang tanpa memikirkan anak-anak serta istrinya? Bagaimana bisa ia pergi tanpa mengucapkan satu kata pun?

Savia tau, semua orang yang datang pasti akan pergi. Dimana pertemuan pasti ada perpisahan. Ia pernah merasakannya tapi dengan definisi yang berbeda.

Yang ia rasakan dulu, tidak semenyakitkan ini. Dulu, ia yakin seseorang itu akan kembali lagi. Terbukti dengan hal itu.

Tapi bagaimana dengan yang ini? Apakah Ayahnya bisa kembali lagi? Tidak. Kata pergi dalam definisi ini berbeda dan lebih terasa menyakitkan.

Savia rasanya ingin pergi. Ia masih belum terima akan hal ini. Ia baru saja ingi bangkit.

Seseorang menjerit memanggil namanya. Tidak lebih tepatnya tiga orang gadis memanggil namanya. "SAVIA!!"

Tifanny, Anita, dan Angeline datang dengan pakaian seragam mereka. Dan tas dipunggung masing-masing. Mereka langsung memeluk Savia erat.

"Vi, yang sabar. Yang kuat. Turut berduka ya." Kata Tifanny sambil terisak. Iya ikut sedih. Bukan hanya ucapan. Tapi ia dengan hati yang paling terdalam merasakan sakit yang dirasakan Savia. Mungkin karena Tifanny sudah lama bersama Savia.

Sama seperti Tifanny, Anita pun menangis. Beda sama Angeline yang lebih terlihat kuat. Savia hanya tersenyum kecut dan melepaskan pelukannya.

"Vi. Lo kenapa ga bilang sama kita kalo Papa lo masuk rumah sakit?" Tanya Angeline sambil menatap Savia tajam.

Savia hanya terkekeh miris. "Emang penting? Kalo gue kasih tau pun ga akan ngerubah fakta kalo bokap gue udah ga ada. Dan lagi pula. Pada akhirnya kalian tau. Kalian udah berdiri disini bukan?"

Angeline menghela nafas kasar. Baru saja ia ingin ngomong tapi disela oleh Tifanny. "Gue ngerti, Vi. Mungkin kami bertiga bukan apa-apa bagi lo. Tapi percayalah, Vi. Kami selalu ada disini buat lo. Kami ga akan ninggalin lo sendiri."

Tifanny tersenyum. Yang di balas anggukan oleh Anita. Savia terkekeh lagi. "Ga akan ninggalin? Jangan bercanda. Pada akhirnya nanti kalian akan pergi ninggalin gue. Sendirian."

Setelah mengatakan itu Savia pergi ke taman belakang. Ia duduk diayunan yang dulu ayahnya buat untuk dia. Ia sekarang berpikir. Untuk apa berteman, bertemu dengan orang-orang kalau pada akhirnya mereka akan meninggalkannya?

Lebih baik ia sendiri bukan? Jika orang itu meninggalkannya ia tidak akan merasakan rasa sakit itu. Ia sudah cukup sesak.

Mengingat kenangan ia dengan ayahnya. Ia menunduk, menutup wajahnya dengan tangannya dan menangis.

Tiba-tiba ia merasakan seseorang memeluknya. Ia membuka matanya dan melihat Zelvian yang sedang tersenyum kepadanya.

❤❤❤

Tifanny : gw g tau lo msh peduli atau ga sm dia. Tp gw cm pen ngabari ke lo aj. Bokapnya Savia meninggal.

Jason nyaris aja terjatuh dari tangga kalo ia tidak dengan cepat memegang pegangan di tangga.

Jason membaca ulang. Ia takut salah membaca dan berkali-kali ia membaca ulang. Tulisannya tidak berubah.

Terpecahkan sudah teka-tekinya. Mengapa Savia menangis kemarin. Dan mengapa Savia tidak hadir kesekolah hari ini

Ia segera berlari mengambil jaket dan kunci motornya. "Mbok, Jason pergi. Kalo Mama tanya bilang Papanya Savia meninggal."

"Iya, Den." Jawab Mbok yang bekerja dirumah Jason. Jason sengaja meninggalkannpesan seperti itu. Karena ia tau, Mamanya dengan Mamanya Savia mengenal satu sama lain.

Jason segera menghidupkan motornya dan melaju dengan kecepatan tinggi. Ia tidak memperdulikan lagi keselamatannya. Yang ia perdulikan saat ini adalah Savia.

Gadisnya yang ceria.

Jason melihat rumah Savia yang terlihat sangat ramai. Ia segera masuk ke rumah yang dulu lumayan sering ia kunjungi.

"Son!" Ia menoleh ketika merasa namanya dipanggil. Ia melihat Angeline dan kawan-kawannya. Ia segera berlari menyusul Angeline.

"Gel, Savia mana?"

Angeline menunjuk ke arah belakang taman. Jason mengangguk dan pergi ketaman belakang.

Ia tersenyum senang ketika melihat Savia duduk diayunan itu. Baru saja Jason ingin menghampiri ia merasakan sesuatu yang menabrak punggungnya. Ia melihat Zelvian berlari menghampiri Savia lalu memeluknya.

Jason membeku di tempatnya. Melihat Zelvian memeluk Savia tanpa ada penolakan dari Savia.

Ia berpikir. Seandainya tadi ia lebih cepat sedikit. Mungkin ia bisa berada dalam posisi Zelvian saat ini.

Seandainya ia tadi tidak telat mengetahuinya.

Seandainya ia tidak pernah menjauhi Savia.

Seandainya hari ini tidak pernah terjadi. Maka Jason tidak akan menjauhi Savia.

Hatinya sakit melihat Savia dipeluk orang lain. Bukan dirinya.

Seharusnya dia yang ada diposisi itu saat ini. Seharusnya.

Jason hanya bisa mengatakan 'seandainya' dan 'seharusnya' tanpa mengubah apapun.

Benar kata orang.

Penyesalan selalu datang terakhir.

❤❤❤

Votments? Thankss! :))

15 September 2016.

Laf AmourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang