Sang mentari telah kembali ke singgasananya, meninggalkan hamparan langit yang telah ditaburi kegelapan malam. Peter berjalan.. Berjalan.. Dan terus berjalan tanpa tahu kemana ia harus pergi. Anak itu benar-benar tak habis pikir dengan apa yang telah Shawn lakukan padanya.
Peter mengedarkan pandangan, membiarkan bola matanya mengamati setiap orang yang berjalan di sekelilingnya. Sekeras apapun anak itu mencari, tetap saja ia tak dapat menemukan satu orangpun yang ia kenal.
Peter menengadahkan kepala, menatap langit yang terasa sangat gelap karena gugusan bintang tak bersinar seperti biasanya. Peter tertawa getir, kini ia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang anak yang sedang tersesat tanpa baju hangat maupun uang, bahkan ia tak tahu caranya harus kembali ke rumah.
Tak tahu apa yang harus ia lakukan, Peter akhirnya memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kota yang sebelumnya ia kunjungi bersama Shawn. Tak ada pilihan lain, karena itulah satu-satunya tempat yang dia tahu. Setelah tiba disana, ia berencana untuk meminta bantuan pada Mrs. Lily. Namun semua angan-angan itu sirna dalam sekejap mata, karena pintu tempat tujuannya sudah tertutup rapat, sangat rapat seakan tak membiarkan satu orangpun untuk masuk ke dalamnya.
Kakinya lemas, Peter menyandarkan punggung kecilnya di sebuah dinding dekat pintu masuk.
"Mom.. Dad apa yang harus kulakukan sekarang?" gumamnya dengan suara bergetar. Air matanya nyaris terjatuh, namun seseorang berhasil menggagalkannya.
"Peter?" panggil orang itu ragu.
***
Shawn membasuh wajah kemudian menatap dirinya yang benar-benar telah menyerupai zombie dari pantulan cermin kamar mandi.
Amarah yang mulai mereda tiba-tiba saja kembali memuncak, membuat Shawn mengepalkan tangan dan melayangkan pukulan pada cermin di hadapannya. Retak, cermin itu kini telah hancur berkeping-keping, meninggalkan luka dan bercak darah pada tangan pria itu.
Shawn pergi menuju kamarnya dengan darah yang sedikit demi sedikit menetes. Ia menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur, dan masih tak memperdulikan rasa sakit pada tangannya. Pria itu benar-benar tak memikirkan apapun, ia telah melukai tangan kanannya yang mungkin akan semakin menghancurkan karirnya. Apakah Shawn tidak berpikir, dengan tangan seperti itu ia tidak akan bisa memainkan gitar yang telah menjadi ciri khasnya?
Shawn memejamkan mata, tak berniat untuk tertidur. Walaupun pada akhirnya ia benar-benar terlelap, terjatuh ke dalam alam bawah sadarnya. Melupakan setiap masalah untuk beberapa saat.
"Shawn kembalilah padaku," kedua mata anak itu memerah.
"Kenapa aku harus kembali?"
"Masa depan kita akan lenyap jika kita tidak bersama."
Shawn terdiam, ia bergeming di tempatnya berdiri.
Namun, anak kecil yang semula ada di hadapannya kini semakin menjauh.. Menjauh.. Dan terus menjauh dari hadapannya.
"Kita harus bersama! Dan--"
"Dan apa?"
"Kau harus bangkit! Seseorang di dekatmu ingin menjatuhkanmu."
"Siapa? Kenapa ia ingin menjatuhkanku?"
Tak ada jawaban apapun, karena kini tubuh anak itu perlahan menghilang, lalu akhirnya lenyap.
"PETER!!" Teriak Shawn setelah baru saja terbangun dari tidurnya. Napasnya terengah, bulir keringat membasahi wajahnya.
Shawn berdiri, dia berlari menyusuri setiap sudut ruangan. "PETER?" dia tak henti-hentinya meneriakkan nama itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey [Shawn Mendes]
FanfictionMasa depan. Sesuatu yang abstrak, tidak seorangpun dapat mengetahui apa yang akan terjadi pada dirinya di masa yang akan datang. Namun, jika diberi kesempatan untuk singgah dan melihat gambaran diri kita beberapa tahun ke depan, maukah kalian? Sem...