Dua hari tanpa keberadaan Shawn disisinya berlalu begitu saja. Cal terus berfikir, mencari setidaknya satu argumen yang dapat terjamah oleh akal sehat. Namun nihil, semua usahanya tak membuahkan hasil sama sekali.
Saat itu, dirinya hanya berdiri mematung dengan mulut terkatup rapat menyaksikan Shawn lenyap tanpa meninggalkan jejak. Calista berubah menjadi sosok pendiam, tak banyak mengeluarkan suara ataupun senyuman setelahnya.
Meski mendung mengawali hari yang telah lebih dulu kelabu, Calista tetap berjalan lemah menuju taman tempat sebelumnya dia dan Shawn menghabiskan waktu bersama, berharap menemukan titik terang disana. Dia duduk, napasnya terhembus kasar, mulai merasa lelah menyimpan semua beban seorang diri. Namun terkadang, ada saatnya seseorang ingin sendiri saja melepaskan semua ceritanya pada hembusan angin, lalu menangis dalam diam, seperti Calista.
Di tengah keheningan yang menyelimuti, tiba-tiba terdengar suara berdebum, semakin lama semakin keras, diikuti dengan sahutan kilat petir yang menyeramkan. Belum sempat Cal melakukan sesuatu, kilatan cahaya menyembur tanpa aba-aba, menciptakan portal hitam pekat dengan suara desingan memekikan telinga.
Gadis itu menelan ludah susah payah, keringat dingin menetes membasahi wajah. Mengesampingkan seluruh rasa takut, dia pun berjalan melangkah memasuki portal, hingga semakin lama portal itu mengecil lalu menghilang.
Tubuhnya terasa melayang melewati ruang tanpa gravitasi selama kurang lebih satu menit. Ujung portal mulai terlihat, Calista terdorong kuat keluar dari portal.
Ruangan serba putih dengan banyak awan melayang di atasnya, dan juga bola-bola kristal berjajar rapi mengelilingi tempat Calista berada. Tak lama kemudian terdengar suara berdesing, diikuti dengan kedatangan Asa disertai awan melayangnya. Cal memekik terkejut, merasa takut sekaligus takjub.
"Calista Alexander Windley?"
"K--kau?" Cal tergagap.
"Kau bisa memanggilku Asa, jangan takut karena aku ditugaskan untuk membimbingmu di dunia paralel ini."
Gadis itu menaikkan sebelah alis, "Dunia paralel?"
Asa mengangguk mantap. "Yap, dunia pertengahan antara masa depan dan masa lalu."
"Tap--"
"Kau akan mengerti seiring berjalannya waktu, lebih baik sekarang ikuti aku," potong Asa.
Cal membungkam mulut, ia tak banyak bertanya setelah itu. Asa bergerak maju dengan awan melayangnya, sementara Cal mengikuti dari belakang dengan berjalan kaki.
"Perlambat langkahmu, Asa. Aku lelah jika harus berlari mengikutimu. Sangat curang." Protes Calista sebal.
Asa tertawa sembari menepuk keningnya. "Aku lupa menaikkanmu ke awan putih juga, maafkan aku."
Tanpa memperpanjang waktu, Asa mengarahkan tangannya ke salah satu awan jauh di atas langit-langit ruangan. Mengendalikannya dengan kekuatan telekinesis seperti biasa, Cal tak berhenti teekagum-kagum.
Segumpal awan putih berhenti tepat di hadapan Calista, dia melompat naik tanpa harus diperintah. Awalnya tubuh Cal bergoyang hampir jatuh, namun dia berhasil beradaptasi dengan baik. Jiwa pemberaninya cukup kuat.
"Percobaan yang bagus Cal," puji Asa tersenyum ramah, sama seperti saat Peter pertama kali menginjakan kaki disini. Namun setelah menaikkan Calista pada awan hitam, Asa tak bergerak lagi, membuat gadis itu bingung.
"Kau bilang akan membawaku ke suatu tempat, lantas kenapa hanya diam disini?" seru Calista tak sabaran.
"Sepertinya aku tak harus mengantarmu kesana, Cal. Kau bisa pergi sendiri, dirimu bisa melakukannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey [Shawn Mendes]
Hayran KurguMasa depan. Sesuatu yang abstrak, tidak seorangpun dapat mengetahui apa yang akan terjadi pada dirinya di masa yang akan datang. Namun, jika diberi kesempatan untuk singgah dan melihat gambaran diri kita beberapa tahun ke depan, maukah kalian? Sem...