Proses
Aku percaya bahwa segala sesuatu membutuhkan proses. Entah itu proses menyakitkan atau menyenangkan. Entah itu proses singkat atau panjang. Yang pasti, semuanya membutuhkan waktu.
Sama seperti hubunganku dengan ibu. Butuh perjalanan panjang dan menyakitkan untuk memulihkan hubungan kami seperti semula. Namun, seiring berjalannya waktu aku mulai mengerti dan bisa menerima semua. Toh semua ini bukan sepenuhnya salah ibu, bukan? Aku tahu dia telah lebih banyak menderita dibanding diriku saat ini.
Ayah?
Sejak kejadian itu aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Entah apa yang merasuki pikiranku, hingga aku merasa akan jauh lebih baik jika ayah tak di sini. Karena setiap kali aku melihat wajahnya, rasa sakit itu seakan kembali terbuka sedikit demi sedikit, membuatku semakin membencinya. Ibu memberiku nomer telpon dan juga alamatnya, dia memberiku kebebasan untuk bertemu dengan ayah, namun pada kenyataannya aku tak pernah menemuinya. Aku tak pernah punya keberanian untuk menemuinya.
Waktu berjalan cepat, menit berubah menjadi jam, hari, dan bulan, hingga aku lulus dari sekolah menengah atas dan menjalani karir sebagai seorang pianis yang mulai dikenal banyak orang.
Popularitas dan kesuksesan yang kudapat sebagai seorang pianis tak semata-mata kugunakan untuk kebahagianku sendiri, aku memutuskan memilih jalan hidup ini untuk bisa menemukan kakakku secepat mungkin. Tidak hanya itu, akupun mencoba cara lain, entah dengan memasang iklan di berbagai media, memasang pamflet ataupun menyebarkan brosur.
Hingga dua tahun pun berakhir dengan begitu cepat, memberiku kenyataan pahit bahwa sampai saat ini tak ada sedikitpun tanda-tanda keberadaannya.
Putus asa?
Tak dipungkiri hal itu terkadang kurasakan. Namun, setiap kali aku merasa putus asa, entah mengapa selalu terbit secercah cahaya yang membuatku yakin bahwa dia masih hidup dan aku harus tetap mencarinya.
"Pikirkanlah karirmu juga, aku yakin suatu hari nanti kalian akan dipertemukan," pesan managerku pada suatu waktu.
Aku menuruti kata-katanya dan memutuskan untuk menggelar konser tunggal pertamaku sebagai seorang pianis di Madison Square Garden, Amerika serikat. Tempat yang mengagumkan bukan?
Seluruh barang telah kukemas dalam satu koper kecil. Tak banyak barang yang kubawa, hanya beberapa pasang baju, sepatu, dan peralatan lainnya. Setelah semuanya dipersiapkan sematang mungkin, Kulirik arloji yang melingkar di tanganku.
"Waktu kita hanya satu jam," tukasku pada aunty Rossie, manager yang sudah kuanggap sebagai ibu kedua.
Dia menoleh sekilas, lalu meraih pegangan koper di sampingnya."Ayo berangkat sekarang. Aku takut jalanan akan macet."
Kita berdua pun segera menaiki mobil dan melaju dengan kecepatan normal menuju bandara. Apakah ini keputusan yang tepat? Ya, mungkin saja. Karena aku tak bisa terus berlarut-larut dalam hal yang tak pasti, aku juga harus mencurahkan perhatian lebih untuk karirku, untuk impianku.
Tanpa sepengetahuan aunty Rossie, aku meremas kedua tanganku kuat-kuat, tiba-tiba saja rasa cemas melanda dan perasaanku berubah tak enak.
"Kau baik-baik saja?" tanya aunty Rossie yang ternyata sangat mudah peka dengan apa yang kurasakan.
"I'm okay," jawabku menampilkan seulas senyum untuk mengurangi kekhawatirannya.
Kami turun dari mobil setelah tiba di bandara. Untuk yang kesekian kalinya tanganku kukepalkan kuat-kuat, berharap hal itu akan mengurangi kekhawatiran yang sejak tadi belum menghilang.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey [Shawn Mendes]
FanficMasa depan. Sesuatu yang abstrak, tidak seorangpun dapat mengetahui apa yang akan terjadi pada dirinya di masa yang akan datang. Namun, jika diberi kesempatan untuk singgah dan melihat gambaran diri kita beberapa tahun ke depan, maukah kalian? Sem...