Hamparan rumput hijau bergerak-gerak terhempas oleh angin pagi hari yang menyejukan. Akar dari dalam tanah menyeruak keluar, berubah menjadi batang yang menjulang tinggi, diakhiri dengan tumbuhnya daun dan juga bunga cantik nan indah. Terdengar jelas suara decitan gesekan besi dari ayunan yang bergerak maju mundur. Tawa canda memenuhi seluruh taman bermain.
Semua orang berbondong-bondong datang bersama keluarga mereka, hanya sekedar untuk bermain dan bersenang-senang. Begitupun dengan seorang anak bernama Shawn Peter Raul Mendes. Usianya hampir menginjak enam tahun. Datang ke halaman bermain ini adalah rutinitas yang selalu ia lalukan setiap akhir pekan bersama semua keluarganya, mom, dad, dan adik perempuannya Aaliyah.
"Ayo tendang bolanya Shawn" seru dad sambil memberi isyarat gerakan tangan.
Dengan polos Shawn kecil langsung menendang bola dengan ujung kaki kanannya. Dad pun kembali menendang bola yang menggelinding ke arahnya. Terus seperti itu, hingga rambut Shawn terlihat berantakan dan basah oleh keringat.
"Dad aku capek," keluh Shawn dengan logat manja sembari menyeka keringat yang mengucur di pelipis wajah.
Ayahnya tersenyum, "Ayo kita istirahat."
Shawn pun menghampiri mom dan Aaliyah yang sedang mempersiapkan sedikit hidangan untuk mengganjal perut. Anak itu duduk di atas tikar piknik sambil memandangi sesuatu di hadapannya dengan mata berbinar-binar. Sesuatu berwarna coklat pekat berbentuk setengah bola yang mengembang, bagian atasnya dipenuhi dengan chocochips yang dapat dengan mudah membuat setiap orang tergiur dengan kelezatannya. Muffin. Itulah nama makanan itu, makanan yang sangat disukai Shawn sejak pertama kali ia mencicipinya.
Shawn kecil mengambil sepotong muffin lalu memasukan kue lezat itu ke dalam mulutnya, membuat coklat lumer dan perlahan mengalir dengan lembut melintasi tenggorokan. Ada sensasi yang tak bisa ia jelaskan saat menyantapnya.
"Apa itu lezat? Kau suka?" tanya mom sambil memandangi putranya penuh kasih sayang.
Shawn tersenyum lebar. Begitu lebar hingga matanya terlihat sedikit menyipit. "Muffin buatan mom memang tak ada duanya, sampai-sampai rasa lelahku langsung hilang begitu saja".
Mom tertawa pelan, lalu mengusap puncak kepala Shawn.
"Aku ingin bermain bola lagi," sahut Shawn penuh semangat.
Dia bangkit dari duduk dengan bola di kedua tangannya. Saat Shawn mulai membuka langkah untuk berlari, tiba-tiba bola di genggamannya terjatuh, lalu menggelinding begitu saja. Ia mengerutkan kening keheranan, bertanya-tanya mengapa bisa bola menggelinding jauh di tempat yang datar?
Masih dengan perasaan bingung, anak kecil itu memandangi bolanya yang semakin menjauh. Tak ada seorangpun yang menyadari hal ini kecuali dirinya. Shawn berjalan, berniat mengikuti arah kemana bola itu pergi, namun semakin lama langkahnya berubah menjadi sebuah larian.
Larian terhenti, kedua bola matanya berputar memperhatikan sekeliling tempat ia berada. Tak terlalu jauh dari tempat semula, hanya saja disini terasa lebih sepi dan sedikit tersembunyi, tak terjamah oleh perhatian banyak orang.
Kedua pandangan mata Shawn telah menangkap benda yang sedari tadi ia cari. Anak kecil itu berniat untuk melangkah maju, dia membuka langkah namun tiba-tiba tubuhnya terdorong, terhuyung lalu jatuh. Ia merasakan sakit yang teramat dalam di bagian jantungnya.
Shawn bangkit sambil meringis kesakitan. Tak menyerah, dia pun kembali melangkahkan kakinya, namun kejadian itu terulang kembali. Dia jatuh dengan posisi kedua tangan bertumpu di atas tanah, mencoba menahan beban tubuh agar tidak kembali jatuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey [Shawn Mendes]
Fiksi PenggemarMasa depan. Sesuatu yang abstrak, tidak seorangpun dapat mengetahui apa yang akan terjadi pada dirinya di masa yang akan datang. Namun, jika diberi kesempatan untuk singgah dan melihat gambaran diri kita beberapa tahun ke depan, maukah kalian? Sem...