Episode 17

477 67 21
                                    

Sang mentari mulai menyembunyikan diri hingga terangnya siang berubah menjadi kegelapan malam. Shawn bersama Calista masih berada dalam studio musik, mereka terlalu larut dalam kesibukan hingga tak menyadari bahwa gugusan bintang telah terhampar luas di atas sana.

Beruntung di tengah latihan tanpa sengaja Shawn melirik ke arah jam yang melingkari pergelangan tangannya.

"Oh god! Ini sudah larut malam, kita telat untuk pulang," pekiknya terkejut.

Calista yang juga masih sibuk dengan tuts demi tuts piano di hadapannya menoleh. "Benarkah?"

"Ya, kita harus pulang sekarang juga," jawab Shawn sembari bangkit dari duduk dan membenahi seluruh alat musik dengan gesit.

Dirasa semua sudah selesai, mereka berdua pun bergegas keluar dari studio musik dan berdiri di halaman depan dengan perasaan canggung satu sama lain.

Shawn berdehem pelan, berusaha memecah keheningan. "Aku akan mengantarmu pulang."

"Tak perlu," jawab Calista telak. Dia tak perlu lagi berpikir banyak untuk menjawab pertanyaan seperti itu.

"Tapi ini sudah sangat larut, bisa sangat berbahaya bagi seorang wanita sepertimu."

"Tak perlu bersikap terlalu peduli terhadapku," gumam Cal ketus, dia membalikan tubuh dan berjalan menjauh meninggalkan Shawn tanpa kata perpisahan apapun.

Sial baginya, karena hari ini Calista datang tanpa membawa kendaraan seperti biasanya. Terpaksa dirinya harus mencari taxi di tengah malam seperti ini.

Lima menit, sepuluh menit, setengah jam, sama sekali tak terlihat taxi yang melintas. Calista menghembuskan nafas panjang dan memutuskan untuk menghubungi Aunty Rossie agar mengirimkan Supir untuk menjemputnya. Saat telpon baru saja akan tersambung, tiba-tiba ada sorotan cahaya yang berasal dari kendaraan yang sedari tadi ia tunggu.

Dia tersenyum puas lalu melambaikan tangan untuk memberhentikan mobil, dan berhasil. Cal menyandarkan punggung untuk mengistirahatkan tulang-tulangnya yang kini terasa kaku, dan di detik berikutnya dia memejamkan kedua mata, berusaha menghilangkan rasa lelah hingga tanpa sadar terlelap dalam tidur.

"Bangunlah nona," satu kalimat yang dilontarkan sang supir berhasil membuat Cal membuka mata. Dia menggeliat pelan, "Apakah kita sudah sampai?"

"Mobil saya kehabisan bahan bakar, tapi tempat tujuan nona sudah tak jauh lagi dari sini," jawabnya penuh penyesalan.

Cal tersenyum, "Tak masalah, aku akan turun disini."

"Maafkan saya nona."

Cal membungkukan badan sebagai penghormatan lalu turun dari mobil, dia menatap lurus ke arah jalan menuju apartemennya yang gelap dan sepi dengan pandangan ngeri. Mau bagaimanapun dia hanyalah gadis biasa yang memiliki rasa takut, penyesalan tentang dirinya yang menolak tawaran Shawn hampir saja terbit, namun Cal langsung menepisnya cepat-cepat.

Dia berusaha membangun benteng-benteng keberanian dan mulai melangkah, tempat tinggalnya tak jauh lagi dari sini.

Setengah perjalanan, Calista mulai senang karena hampir berhasil tiba di tempat tujuan. Namun tiga orang pria tiba-tiba muncul dan memblokir jalannya. Cal terkejut, dia mencoba untuk melangkah mundur dan berlari, tapi salah satu dari tiga pria itu berhasil membaca pergerakan tubuh Cal.

"Kenapa gadis secantik dirimu harus pulang sendirian seperti ini, huh?" ucap salah satu dari mereka dengan nada jahil.

"Bisakah kalian menyingkir?" balas Cal dengan tatapan tajam dan waspada.

"Oho! Kau berani mengusir kami?" pria itu membungkukan badan hendak mendekatkan wajahnya ke wajah Calista.

"Max lihatlah, bukankah dia Calista?"

The Journey [Shawn Mendes]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang