Episode 13

539 76 4
                                    

"Lalu setelah itu?"

"Setelah itu aku tak sadarkan diri selama satu minggu penuh. Hingga kabar menyakitkan ini datang tepat pada saat kedua mataku terbuka."

Hening. Dingin. Mencekam.

Jarak diantara mereka cukup jauh, dan tak ada satu orangpun yang berani berucap, walau hanya sepatah kata.

Calista berusaha membangun benteng kekuatan dalam dirinya, namun semua itu runtuh dalam sekejap mata. Raganya luruh ke atas lantai, kedua kakinya tak sanggup lagi menahan beban tubuhnya sendiri. Air matanya mengalir tak terkendali, "Bahkan aku belum sempat mengatakan bahwa aku sangat menyayanginya," gumamnya disela tangisan.

Pundak Calista bergetar hebat, "Bahkan aku belum sempat melihat wajah kakaku, aku belum pernah bertemu dengannya sekalipun dalam hidupku," lanjutnya dengan penuh kepedihan.

Shawn bergeming. Dia menatap wanita itu dengan pandangan penuh kekhawatiran. Cairan bening terlapis dengan sempurna di kedua matanya seiring dengan rasa pedih yang melanda.

Haruskah dia mengucapkan rangkaian kata yang mampu menenangkan wanita itu?

Haruskah dia melontarkan kata "Maaf" untuk yang kesekian kalinya?

Haruskah dia terus berdiam diri di tempatnya berpijak?

Shawn memejamkan mata kuat-kuat. Isakan tangis yang terus menggema di kedua telinganya seolah terus menerus melemparkan timah panas dan bom atom. Melihat wanita menangis adalah hal yang paling ia benci dalam hidupnya, namun kini seorang wanita menangis tersedu-sedu karenanya. Apa dia akan terus diam? Tidak. Tentu saja jawabannya adalah, tidak.

Dengan segala keberanian yang telah terkumpul, Shawn mendekat dan membenamkan wajah Calista dalam rengkuhan hangatnya. Mulutnya tertutup rapat-rapat, dalam keadaan seperti ini ia tak tahu harus berkata apa, ia tak tahu harus berbuat apa. Mungkin pepatah "Diam adalah emas" sangat berguna di saat-saat seperti ini.

Cukup lama gadis itu meluapkan tangisannya di dada bidang Shawn, sampai akhirnya ia mendapatkan kesadarannya kembali. Merasa ada yang tak beres, Calista langsung mendorong tubuh Shawn menjauh dari jangkauannya dengan kasar.

"Menjauh dariku!" tukasnya dingin dan angkuh.

"Maaf," lagi-lagi hanya satu kata itu yang mampu ia ucapkan.

"Haruskah aku membunuhmu?" gumam Calista sambil menatap Shawn lekat-lekat dengan pandangannya yang mengabur.

"Lakukanlah jika hal itu bisa membuatmu berhenti menangis," balas Shawn tanpa keraguan sedikitpun. Sulit dimengerti. Dirinya tak pernah menyangka bahwa kata-kata berbahaya itu terlontar begitu saja dari mulutnya.

"Haruskah?" timpalnya dengan pandangan nanar.

Shawn terdiam. Dia diam, namun sorot matanya seolah berkata "Lakukanlah sekarang juga! Aku sudah tak sanggup lagi."

"SHAWN MENDES AKU MEMBENCIMU!!" Teriakan gadis itu menggema dan menjalar dengan cepat ke seluruh ruangan. Tangannya bergerak, memukul-mukul dada Shawn dengan seluruh tenaga yang masih tersisa.

"Calista, aku tidak akan terbunuh dengan caramu ini," Shawn berucap seraya mengulum tawa getir.

"AKU TAK PEDULI. AKU MEMBENCIMU!"

Shawn bangkit, berjalan sedikit menjauh dari Calista. Punggungnya tersandar di dinding dan kedua tangannya terlipat di depan dada.

"Tanpa kau pinta pun aku akan melakukannya," ucap Shawn datar namun penuh arti, membuat Calista yang mendengarnya menautkan kedua alis.

The Journey [Shawn Mendes]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang