23. Learn to be stronger

112K 5K 361
                                    

Hay semuaaa..... mohon maaf ngaret banget, pengennya update sabtu tapi ternyata sabtu masih masuk dan lab mandiri terus, dan hpku error.. hiks hiks, mau nggak mau bikin di laptop. Buat yang kesel banget hehe mohon maaf, untuk kedepannya mungkin agak lama juga karena bener2 harus fokus sama ujian praktik.. mohon pengertiannya.

Happy reading guys ;) mudah2an bisa mengobati kangen kalian sama Fian :D

🍁🍁🍁

"Seandainya bisa, aku berharap agar mataku tidak bisa terbuka lagi untuk bangun dan menatap dunia. Aku lelah, aku ingin istirahat saja, dan aku ingin menyusul putriku."

🍁🍁🍁

Bulu mata Fian tergerak, kelopak matanya terbuka perlahan. Fian menyesuaikan cahaya ruangan dengan matanya. Ruangan ini tidak asing untuk Fian. Ruangan berwarna putih dengan aroma dan peralatan yang khas, ini rumah sakit.

Di hadapan Fian ada Bi Peni dan Mariska yang saling menggenggam, matanya menyorot khawatir. Di dekat sofa ada Kinan yang berekspresi tidak jauh berbeda.

Fian menyipitkan mata, otaknya berusaha mengingat apa yang terjadi hingga dirinya bisa berada di rumah sakit. Tiba-tiba ia mengingat mimpi yang baru saja ia alami membuatnya terdiam. Mimpi yang menguras perasaannya.

"Anakku," lirih Fian. Suara itu nyaris seperti bisikan linu untuk didengar. Mata Fian memanas dan butiran air mulai menets dari matanya. Tangannya ia gunakan untuk meraba perut yang saat ini sudah rata.

Kepala Fian langsung menoleh pada Bi Peni. "Bi.. apa yang terjadi? anakku baik-baik aja kan?" tanya Fian.

Bi Peni mendekat dengan senyum getir, wanita paruh baya itu memeluk Fian dan ikut menangis. "Iklaskan, anak Nyoya sudah pergi ke surga." Tadi setelah dilarikan ke rumah sakit Fian segera ditangani namun memang sudah takdir, dokter sudah berusaha sebaik mungkin tapi ternyata janin memang sudah tidak bisa diselamatkan.

Bagaikan disambar petir, tubuh Fian berubah menjadi kaku. Jantungnya terasa dihunus pedang, nafasnya begitu sesak, perih dan sakit. Kepala Fian menggeleng perlahan, "nggak, Fian nggak mungkin kehilangan dia kan??" tanya Fian dengan wajah memohon.

Air matanya sudah mengalir deras tanpa bisa dicegah. Dirinya bahkan belum memberitau kabar gembira ini pada Karel.

"Sayang, kamu harus sabar.." Mariska mendekati Fian dan ikut memeluk menantunya yang sedang terpuruk.

Kepala Fian menggeleng, ini semua bohong. "Fian ingin anak Fian Maa!!" teriak gadis itu dengan histeris.

Bagaimana mungkin, anaknya, anak yang sudah ditunggu, anak yang membuatnya kembali bangkit sekarang telah tiada dan semua itu karena dirinya. "Tolong kembalikan anak Fian Ma.." pinta Fian.

Siapa yang tega melihat Fian yang ceria kini menangis dengan nelangsa. Fian dengan senyum lebar yang hangat sekarang menjadi Fian dengan wajah pucat dan mata yang memerah bengkak karena terus menangis.

"Istigfar Fian, jangan begini.." lirih Mariska. Dalam hati dia merutuk, kemana putranya disaat seperti ini.

Fian menangis semakin kencang, dia terus menyalahkan dirinya sendiri. Bagi Fian, dirinyalah yang membunuh bayinya sendir. Harusnya ia tahu kalau sedang hamil tidak boleh terlalu lelah. Harusnya ia tidak egois memikirkan diri sendiri tanpa memperdulikan keselamatan janin yang ada di rahimnya.

"Semua salah Fian," gumamnya. Mata itu kosong meski tetesan air matanya tidak berhenti. "Seandainya Fian jujur sejak awal, seandainya Fian memberitau Karel, seandainya.." dia terus bergumam sendiri dan mengabaikan panggilan Bi Peni dan Mariska.

Not A Dream WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang