"sekarang, bagaimana?"
Semua terdiam dan tidak mengeluarkan suaranya. Devan menghela nafasnya dengan pelan. Kepalnya ia tundukan seperti yang lainya. Merenung dan mulai kembali mengenang kembali semua peristiwa-peristiwa yang mereka lalui bersama orang yang berharga itu.
Tiga hari setelah kematian siva, mereka kembali untuk meneruskan sekolah mereka. Semua orang tidak ada yang curiga menenai kepergian mereka. Kata rhean waktu itu, Seseorang dari kerajaan datang membawa sebuah surat yang mengtakan bahwa mereka pergi untuk sesuatu yang penting.
"memangnya apa yang bisa kita lakukan?, kehilangan pengawas membuat kita tidak bisa menggunakan lapangan untuk berlatih" Austin menjawab diselingi dengan tawa miris yang keluar dari mulutnya.
Rianna ikut tertawa. Namun, yang keluar bukanlah tawa yang wajar sama seperti Austin. "kau benar juga, kita sudah tidak memiliki hak untuk menggunakan lapangan" sahutnya dengan pelan. Di sudut sofa lain, lusi duduk sambil menunduk dengan dalam. Tidak tau raut wajah apa yang di keluarkan olehnya. Kedua tanganya meremas ujung rok yang ia kenakan dengan kuat membuat kain rok itu menjadi kusut.
"apa ini? Kukira kalian adalah orang yang kuat, ternyata hanya segini kemampuan kalian,...menyedihkan sekali"
Semua menoleh kebelakang dengan serempak.
"kak stevan!" rianna lah yang paling pertama memekik kaget dilanjutkan dengan raut wajah kaget yang lain.
Diatas anak tangga yang paling tinggi, stevan berdiri dengan tangan kiri dimasukan ke saku celanaya. Sebelah tanganya lagi membewa sebuah kertas berwarna merah.
"kumohon tolong gantikan aku, sekali saja aku mohon kepadamu!" stevan membaca bait terakhir dari surat itu sambil memandang wajah-wajah di depanya.
"Lihatlah! Pengawas kalian sampai memohon kepadaku untuk hal yang sepele ini, dan kalian malah merenung tidak jelas untuk hal ini" sinis stevan. Sejujurnya dia malas sekali untuk berurusan dengan hal yang seperti ini. Namun, mau bagaimana lagi, dia tidak mungkin kan mengabaikan permintaan terakhir dari seseorang yang sudah meninggal.
Sehebat apa mereka, sampai kau rela membuang semua harga dirimu untuk memohon kepaa ku? Batinya sambil berjalan turun kebawah.
"kau benar juga, untuk apa kami merenung seperti orang bodoh disini? Membuang-buang waktu saja"
Devan mengerjapkan matanya dengan cepat. Dia tidak menyangka lusi yang dikenal sebagai gadis yang lembut mampu mengucapkan kalimat kasar seperti itu.
Pancaran mata lusi terlihat sedikit menggelap dengan wajah serius yang sangat jarang ditunjukanya kepada orang lain. Stevan menyeringai kecil, sambil terus berjalan menuju pintu keluar.
"kupikir, diantara kalian tidak ada yang memiliki ambisi, ternyata masih ada" ujarnya sambil memutar kenop pintu keluar. Lusi maju selangkah dengan kepala di tegakkan. "kau akan melatih kami kan? Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayo!"
Stevan menolehkan kepalanya sedikit lalu melirik mereka dengan tatapan tajam. "sikap itulah yang kutunggu dari tadi. Sepertinya kakak mu mengajarimu dengan baik ya?"
Lusi tetap tidak mengubah ekspresinya lalu menoleh kearah teman-teman nya yang masih mematung. Lusi mendecakkan lidahnnya dengan keras seperti orang yang tidak sabaran.
"apa kalian akan terus seperti ini dan menyia-nyiakan kesempatan yang datang?!"
Rianna lah yang menjawab dengan sahutan keras. "memangnya kami sebodoh itu!? Tentu saja tidak!". Devan menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal. "kenapa semua jadi teriak-teriak begini?" bisiknya kepada Austin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Blue rose
FantasyMereka hanya mengira itu sebuah nama saja. Blue rose, bunga ajaib yang katanya bisa mengabulkan 1 permintaan kalian. Orang jaman dulu menganggap itu adalah hal yang tabu. Jaman sekarang, legenda itu sudah menghilang seiring dengan berjalanya waktu...