7#team blue rose

752 47 0
                                    

"Team 25, lusiva antha derendra, devan roxio dendra, riana lisa danera, dan austin denara john. Dengan senior pembimbing...."

"Maaf, menyela tapi, badan ku sudah lelah, bisakah langsung berikan kunci dan nomor asrama" sela seorang gadis bertudung biru.

"Hah, seperti biasa kau tidak bisa di ajak basa basi, ini kunci dan nomor nya, dan kalian silahkan ikuti dia" ujar mrs viola dengan pasrah.

"Menurutmu siapa dia?" Bisik devan. "Entahlah, tapi aku merasa familiar dengan suara itu" balas lusi dengan berbisik.

"Nah kita sudah sampai" suara gadis itu mengintrupsi kegiatan mereka. Mereka pun masuk kedalam ruangan itu.

Di dalam sangat luas, tv flat 23 inchi di sebelah kanan, di depan ya ada 1 set sofa merah marun, dibelakang sofa terdapat tembok yang membatasi antara dapur dan ruang santai. Di samping tv terdapat tangga yang mengarah pada 5 pintu di lantai dua.

"Ini lebih mirip rumah dari pada asrama" ujar austin. "Aku sudah tidak kaget mengingat, semua di dunia ini sangat aneh" ujar devan. "Hmm, nama kakak siapa?" Tanya Riana mengabaikan keterkajutanya. "Kau ingin tau?" Tanya balik gadis itu.

Semua mengangguk dan memperhatikan dengan baik. "Hm, baiklah" jawab gadis itu. Perlahan tudung yang dikenakan gadis itu mulai tersingkap. Memperlihatkan seorang gadis yang masih semumuran dengan mereka.

Kulitnya putih susu, berambut coklat yang di cepol asal asalan dan jangan lupakan mahkota bunga mawar biru yang tersemat di atas kepalanya. Sebuah cingiran lebar terpatri di wajah nya.

"Kakak/siva!!!" Pekik devan dan lusi bebarengan. Sementara riana dan austin hanya menautkan alis pertanda bingung.

"Kalian kenal mereka?" Tanya austin bingung. "Tentu dia saudara kembar ku" ujar lusi. "Dan dia sahabat terbaik ku" timpal devan. "Kenalkan, lusiva antha derendra, panggil aku siva" ujar siva.

"Cepat duduk ada yang ingin aku bahas" perintah siva yang sudah duduk di sofa. Mereka pun mengangguk. "Jadi apa nama team kalian?" Tanya siva kepada mereka berempat. "Memang harus ya?" Tanya devan dengan malas. Dahi siva berkedut menahan kesal. 'Nih anak di kasih sabar malah seenaknya dasar' umpat siva dalam hati.

"Tentu saja bodoh, kau pikir akan tetap menggunakan nomor 25 hah!!" Ujar siva di akhiri dengan bentakan. "Kenapa tidak" balas devan. "Ku penggal kau sekarang juga" geram siva. Sementara yang lai hanya menonton drama dengan memakan beberapa camilan.

"Hieee, aku kan hanya bertanya" ujar devan santai. Urat kesabaran siva sudah putus. Dengan aura hitam di sekelilingnya, membuat siapapun merinding melihatnya.

"Kau" desis siva dengan suara mengintimidasi. Melihat kondisi yang semakin buruk lusi pun bertindak. "Sudah sudah, aku sudah mempunyai nama, dan devan bisakah kau berhenti memancing kakak ku" ujar lusi. "Maaf...." ucap devan menggantung membuat semua penasaran. ".....tapi Aku akan selalu membuatnya kesal" lanjut devan dengan sebuah cengiran. 'Dasar cari masalah mulu nih orang' batin austin dan riana kompak. Sementara lusi hanya memijit pwlipisnya.

"Hah, baiklah jadi apa nama team kita?" Yang riana setelah lama tak bersuara. "Hmm, blue rose?" Ujar lusi sambil mengambil pose berfikir. "Apa yang membuat mu berfikir itu nama yang cocok?" Tanya austin.
"Aku terinspirasi dari mahkota bunga yang di pakai kak siva hehehe" ujar lusi. "Nama yang bagus, baiklah mulai sekarang nama team kita adalah blue rose" putus devan.

"Padahal tadi dia yang gak minat sekarang dia yang putusin" cibir siva. "Masalah?" Sewot devan. "Buatku itu adalah masalah" balas siva tak kalah ketus. "Lihat, siapa yang mulai duluan" ujar devan sengit. "Aku tak akan memulai jika kau tidak memulai bodoh!!!" Bentak siva. "Siapa yang kau panggil bodoh hah, pendek!!!" Balas devan.

"Pemalas"
"Jadi jadian"
"Apa madsudmu?"
"Madsudku, lihat adik mu, dia anggun, sedangkan kau seperti preman pasar"
"Aku ya aku dia ya dia, sudah cukup pertengkaran ini tidak ada habisnya, aku mau istirahat" ujar siva sambil berlalu pergi. Sementara yang lain terkikik geli devan hanya bisa menghela nafas. "Hah, dia memang merepotkan" ujar devan

"Aku mendengar mu bodoh!!!!" Teriak siva dari dalam kamar. "Pura pura saja kau tak mendengar!!!" Teriak devan kesal. Sungguh apakah suaranya sekencang itu. Pikirnya.

"Hahahaha, ini akan menjadi tontonan tiap hari" ujar austi tertawa setelah itu pergi menuju kamarnya. "Aku bukan badut" ujar devan sambil pergi ke kamarnya. "Ayo kita harus segera membersihkan diri" ajak riana yang sudah pergi menuju kamarnya. Senyum kecil menghiasi wajah lusi dan mulai pergi menuju kamarnya.
.
.
.
'Setidaknya hubungan kami masih sama seperti duli' batin siva senang. Siva memang menyukai devan sejak dulu. Dia tau devan hanya mengangap nya sahabat tidak lebih.

Berada di dekatnya saja sudah cukup baginya. Ketika dia mendengar adikya bertunangan dengan devan, sakit itu yang dia rasakan. Namun jika devan senang maka dia akan ikut senang apalagi jika menyangkut kebahagiaan adiknya.

Oh, ayolah cinta tak haris memiliki, itulah isi pikiran ya setiap hari. Siva melihat isi kamar yang sangat luas ini. Jendela yang sangat besar berjejer rapi di depanya. Korden berwarna putih tulang. Di delan jendela ke dua terdapat meja dan kursi yang sangat besar. Kasur besar menempel di dinding sebelah kiri. Berhadapan dengan kasur terdapat sebuah pintu yang dia asumsikan sebagai kamar mandi.

Menghela nafas sejenak. "Hah, desain yang buruk" kritik nya. Dia mulai merentangkan tangan dan kaca dari jendela itu mulai bercahaya. Ketika cahaya mulai redup kaca itu sudah digantikan oleh es biru jernih yang sangat dingin, namun tidak membuat udara di ruangan itu.

Lalu dia menunjuk ke arah korden. Korden itu secara perlahan berubah menjadi kain es yang sangat indah. Mengalihkan pandangannya ke atas. Dia mulai membuat lampu kristal yang sangat besar dan megah. Di atap langit langit juga terdapat snowflakes yang bergelantungan.

"Lihatlah hasil karya ku, tidak buruk bukan" ujarnya entah pada siapa. "Hmm, sepertinya ada yang kurang" ujar siva. Merasa belum puas dia menghentikan kakinya ke lantai keramik. Membuat lantai itu menjadi es dengan ukiran snowflakes yang besar seperti terkurung di dalam es.

"Ini baru seni, sekarang waktunya bersiap" cuman siva.
.
.
.
"Ih, kemana sih kak siva lama banget" kelih lusi. "Udahlah paling lagi siap siap" ujar austin menenangkan.

"Dari pada itu, mari makan" ujar devan sambil mengambil paha ayam bakar. "Enak aja bagian ku tuh" ujar seseorang sambil merebut paha ayam bakar itu dengan cepat.

"Dateng dateng maen rebut aja" ujar devan namun tidak merebut kembali ayam bakarnya yang berada di tangan siva.

Austin, riana, dan lusi hanya bisa melongo melihat penampilan siva. Bagaimana tidak, siva memakai kaos oblong dan hot pants. 'Darimana dia mendapatkan pakaian kekurangan bahan itu' pikir mereka bertiga.

"Ayo di makan jangan pada bengong" ujar siva. Mereka pun memakan makanan dengan penuh khidmad, sampai pertanyaan dari riana membuat mereka penasaran.

"Kak siva-"
"Panggil siva aja, usia kita kan sama" perintah siva. Riana mengangguk.
"Kau punya team tidak?" Tanya riana. "Tentu saja punya" balas siva cepat. "Namanya apa sih?" Kali ini giliran devan yang bertanya. Siva menyeringai kejam. Membuat orang yang di sana bergidik ngeri. "Nama team ku adalah.............."

"The reaper"

Blue roseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang