My Way

7.6K 444 3
                                    

Sakha melipat sarungnya dan pulang ke rumah. Pagi ini seperti biasanya, sepulang sholat subuh berjamaah di Masjid, Sakha kembali ke rumah untuk mandi dan bersiap sekolah. Udara pagi ini cukup dingin dan membuatnya ingin cepat-cepat masuk rumah.

Sakha berjalan cepat. Jarak Masjid dengan rumah Sakha tidak terlalu jauh. Jadi, sholat berjamaah sudah menjadi kebiasaan untuknya.

Sakha membuka pintu rumah dan masuk ke kamar. Kamar itu masih gelap. Terlihat Kakak perempuannya masih terlelap. Sakha menyalakan lampu kecil di atas nakas dan membangunkan Kartika.

"Kak, udah subuh. Lagi gak sholat kah?"

Kartika terkejut mendengar suara Sakha yang sok dihalus-haluskan itu. "Astaghfirullah," Kartika terkejut. "Kamu dari mana, Ka?" tanya Kartika. "Sholat lah, di Masjid," jawab Sakha sambil mengambil ponselnya. "Yah, kok gak ngajakin?" Kartika sedikit kecewa. "Ku kira kakak lagi itu. Besok deh ku ajak."

"Oke sip. Yaudah deh, aku mau sholat dulu," kartika kemudian bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.

Sakha memakai dasi dan menambahkan sedikit gel di rambutnya. Anak itu tersenyum kepada bayangan dirinya di cermin. "Ceilah. Sok kegantengan lu, dek," ledek Kartika. "Capil ganteng emang susah kak," Sakha tertawa. "Aku pergi dulu ya," pamit Sakha. "Naik apa?" tanya Kartika. "Sepeda. Sama Ray."

"Oke sip. Nih buat jajan," Kartika memberikan selembar uang warna biru kepada Sakha. "Kakak terbaik emang," Sakha kesenangan. "Udah sana, ntar telat."

Sakha keluar dari kamar bersama Kartika. Tadi pagi, sebelum subuh, bapak sudah pergi meninggalkan rumah karena ada panggilan. "Ray, hayuk lah!" teriak Sakha dari depan rumah. "Sabar bro, lagi keluarin sepeda."

Tak perlu waktu lama, Ray dan sepedanya sudah berada di luar halaman. "Pagi kak," sapa Ray kepada Kartika. "Pagi," Kartika tersenyum. "Cabs dulu kak," pamit Sakha. Dia dan Ray kemudian mengayuh sepeda mereka dengan cepat.

"Cuy, lu udah siap pr fisika?" tanya Sakha ditengah perjalanan. "Belom. Tadi malem gua maen pb. Sampe lupa. Elu?" tanya Ray balik. "Sama lah. Gua sebenernya mau pb juga. Tapi ada kakak gua, jadi gabisa. Gua ngobrol sama dia sampe jam 1."

"Matilah kita. Mana fisika pertama lagi, hadeuh," keluh Ray. "Bediri lagi dah ini." Sakha dan Ray bukan anak yang baik dan bukan juga anak yang hobi berantam. Mereka sering berdiri di koridor karena ribut di kelas dan tidak selesai pr. Sakha dan Ray juga pernah 2 kali ketahuan cabut.

Sakha tidak suka cari masalah dengan anak orang lain. Dia berkelahi ketika keadaan darurat saja. Sakha pernah satu kali berkelahi dengan kakak kelas. Dalam satu pukulan, lawan Sakha sudah kejang-kejang tidak karuan. Dari kecil, Sakha memang sudah belajar bela diri dari bapak.

Setelah ibu tiada, bapak berpesan kepada Sakha untuk menjaga kak Kartika. Maka dari itu, dia sangat berhati-hati menggunakan ilmu yang bapak ajarkan. Dia tidak ingin di cap bad boy atau lelaki bandal yang suka berantam. Menurutnya itu aneh.

Setelah 2 pelajaran berdiri di koridor, Sakha akhirnya bisa duduk di bangku kesayangannya itu. "Nekat amat dah lu, Ka," kata Dana. Teman sebangku Sakha.

"Kakak gua pulang njir. Lupa segalanya kalo sama dia," Sakha tertawa kecil. "Titip salam. Bilangin gua fansnya," kata Dana.

"Iyalah siap. Ntar gua kasih elu tanda tangannya juga," Sakha tertawa. "Iya bilangin gua pens sejati."

Ketika Sakha dan Dana tengah mengobrol, tiba-tiba pak Suroso datang. Beliau adalah guru IPS yang seharusnya tidak masuk ke kelas Sahka sekarang. Saat ini yang seharusnya mengajar adalah ibu Dian. Guru PKn.

"Jadi hari ini ibu Dian sedang berhalangan hadir dan bapak yang menggantikan," kata pak Suroso sambil meletakkan buku di atas meja guru. "Bapak ngajar Pkn?" tanya Ray tiba-tiba.

"Menurutmu?" pak Suroso melontarkan pertanyaan yang hanya bisa membuat Ray terdiam.

1:00 p.m

"Duluan Dan, El," pamit Sakha dan Ray kepada Dana dan Rafael. Mereka kemudian berjalan menuju parkiran sepeda. "Sob, gua kayanya engga pulang ke rumah," kata Ray sambil mengeluarkan sepedanya.

"Kenapa lu?" Sakha kemudian duduk di atas sepada hitam miliknya. "Gua disuruh bantu jualan sama mak gua. Lu sendiri gapapa ya?"

"Iya dah gapapa. Sukses ya bro," Sakha menyemangati Ray. "Siap kapten. Gua duluan," izin Ray dan segera melesat menuju toko roti ibunya.

Ibu Ray memiliki sebuah toko roti yang bisa dibilang cukup jauh dari rumah. Biasanya, jika pergi ke toko, Ray tidak pulang ke rumah karena jarak yang jauh.

Sakha memperhatikan sobatnya menjauh dengan sepedanya. Sakha kemudian mengeluarkan ponselnya dari kantong celananya dan meletakkan benda itu ke dalam tas. Dia lalu pulang.

Sebenarnya di rumah ada satu motor yang jarang dipakai. Sakha bisa saja naik motor ke sekolah jika ia mau. Tapi Sakha cukup tahu diri. Karena dia anak polisi, Sakha tidak ingin berlaku sesuka hati. Sepeda saja sudah cukup. Mungkin Sakha akan mengandarai motor ketika kelas 2 SMA. Saat dia telah memiliki SIM.

Malam ini Sakha duduk di teras bersama bapak. "Nanti kalau udah SMA kamu ikut tes polisi, ya, Ka,"

"A.. aku gak mau jadi polisi."

"Maunya jadi apa?"

"Pilot."

"Yakin?"

Sakha mengangguk dan melihat ke arah bapak.

"Yaudah. Yang jalanin kan kamu, bukan bapak. Jadi kamu berhak milih."

"Kamu masuk SMA biasa aja ya, engga usah penerbangan," lanjut bapak

"Kenapa, pak?" Sakha bingung

"SMK penerbangan kayanya belajar tehnik. Mending kamu masuk SMA sama Ray, setelah lulus SMA kamu baru daftar sekolah pilot."

Hai. Makasih banyak buat yang udah baca 😘
Btw ada beberapa bagian cerita ini yang kuambil dari kisah hidupku. Kaya bagian terakhir part ini😂

My PrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang