Siang ini tepat seperti 3 bulan lalu. Ketika sebuah pengakuan dari seorang Giordano Jordan, pemakai obat terlarang, yang adalah sobat Sakha dia dengar. Ketika Gio mengatakan bahwa mereka tidak bisa lagi menjadi sobat.
Siang ini tepat menjadi 3 bulan kejadian itu. Semua memori kilas balik mendatangi Sakha. Reka ulang kejadian seakan terpampang di depan matanya. Dia menarik kursi yang menjadi tempatnya duduk saat itu.
Memandang sekitaran tempat ini. Seakan masih tercium wangi parfum maskulin yang selalu Gio pakai. Bahkan hawanya masih sama seperti dulu. Sejak saat itu, Sakha tidak pernah lagi datang ke kafe ini. Dia masih sering berkontak dengan Miko untuk menanyakan keadaan Gio. Kata Miko, Gio sudah membaik, dia sudah mulai bisa melepas benda itu.
Miko sering mengajak Sakha untuk menjenguk Gio. Tapi sampai sekarang, dia belum sanggup. Sakha hanya bisa menonton motovlog yang pernah mereka buat dan beberapa fotonya dengan Gio.
"Temennya mana?" seorang pelayan mendatangi Sakha. "Eh, elu mas. Siapa? Gio?" tanya Sakha. Pelayan tersebut mengangguk. "Lu tau lah. Salah pergaulan dia, alone deh gua jadinya."
"Miko juga?"
"Enggak lah. Miko mungkin lagi sibuk aja, makanya jarang kesini."
"Kalo lu ketemu dia, gua kirim salam ya, Ka."
"Iya, ntar gua sampein."
•
Sakha mengendarai motornya sampai kosan Miko. Hari ini, entah kenapa Sakha ingin menemuinya. Kendaraan roda dua itu dia parkirkan di depan pagar kosan Miko. Sakha menelpon Miko.
"Halo, Mik. Gua di depan. Bukain pintu, dong."
Tak lama setelah sambungan telpon diputuskan, Miko keluar dan membukakan pintu untuk Sakha. "Masuk, kuy!" ajak Miko. Sakha mengikuti Miko ke kamarnya.
"Anggap aja kamar lu sendiri," Kata Miko. "Sebelum lu bilang, udah gua anggap kamar sendiri, kok," Sakha tertawa. "Sa ae lu, Ka," Miko menghidupkan ac. "Main ps, yuk!" ajak Miko. Sakha mengangguk. Miko memberikan stik ps kepada Sakha dan mereka mulai bermain.
"Gua mau nanya soal si Gio nih, Mik," Sakha masih memperhatikan layar tv sambil menekan stik. "Nanya soal apa, Ka. Alhamdulillah dia masih normal, gak gila kayak pasien sebelah tempat Gio."
"Emaknya gimana, Mik?"
"Awalnya memang kaget banget, lah. Tapi sekarang emaknnya udah bisa nerima kenyataan kok. Kadang emaknya jenguk. Nyokapnya G percayain gua."
"Pihak sekolah ada nanya sesuatu gak sama lu? Tentang pergaulan si Gio?"
"Ada. Kepsek nanya, kamu udah nyicip narkoba, Ka? Kalian sering gaul dimana? Kalo jajan abis berapa? Gio pernah ngapain kamu? Kalian ngevape?"
"Kocak kepsek lu, njir. Pake nanya jajan abis berapa. Terus lu jawab apa, Ka?"
"Gua jawab, saya belom nyicip, Pak. Terus yang jajan itu, gua jawab, kalo jajan abis banyak lah, Pak. Kadang kita ngutang juga."
"Nekat bener dah, Ka."
"Bukan nekat, Mik, tapi biar suasana gak tegang aja. Asal lu tau, gua kayak disidang sama tuh kepsek. Guru-guru bikin meja bentuk U, dan gua di tengah-tengah kek terdakwa. Kan anjir dia."
"Sadis, men."
"Golll! ggwp, Mik. ggwp," Sakha bersorak senang.
"Kamving emang lu, ya. Kamving."
•
Sore ini sepulang dari kosan Gio, Sakha kembali ke rumah, menukar motor menjadi mobil, kemudian menjemput Kakaknya di Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta, Terminal 3 Ultimate.
"Kak, jalan yuk!" ajak Sakha. "Kemana?" tanya pramugari itu. "Terserah. Nonton mau gak? Aku yang bayar." Sakha menatap Kakaknya itu. "Maulah. Tumben kamu ngajakin aku."
"Sebagai adik yang baik aku harus ngajakin kamu jalan dong, haha."
•
Malam ini, sepulang dari bioskop, Sakha sengaja melewati rumah Giselle dulu. Dia ingin mengenang masa berharga ketika dia dan Giselle pulang bersama. "Rumah Giselle kok kosong, dek?" tanya Kartika. "Karna gak ada orangnya, Kak." Sakha sengaja memelankan laju mobilnya. "Beneran aku nanyanya."
"Beneran juga aku jawabnya, Kak."
"Ah, kamu gak danta."
"Ehehe. Giselle udah pindah."
"Kemana?"
"Ke Amsterdam. Tempat asalnya."
"Loh? Dia tinggal di Belanda? Kok dia kalo ngomong Indonesia banget, gak ada kek bule gitu?"
"Mana aku tau lah, Kak. Mungkin disana dia ngomong pake bahasa Indo kali. Soalnya emak bapaknya orang Indo."
"Tapi dia masih sering dm aku, loh, Ka. Kamu masih sering chat sama dia, ga?"
"Lumayan lah. Dia baik ya kan, Kak. Tapi sayang,"
"Iya. Cakep lagi. Sayang kenapa?"
"Sayang, belom sempet aku tembak udah pergi. Kan sedih."
"Lah, katanya dulu amit-amit kalo sampe pacaran sama Giselle. Aku inget loh, Ka. Kamu bilang itu waktu kita di bandara, lagi makan."
"Cinta bisa tumbuh karna terbiasa."
"Asoy dah."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Pride
Teen FictionMenjadi pilot bukan sekedar cita-cita untuk ku. Tapi adalah impian agar bisa selalu dekat dengan ibu dan menikmati ciptaan Tuhan dari atas. Mengantarkan ratusan hingga ribuan jiwa ke tempat tujuan, juga akan menjadi kebanggaan tersendiri buatku. -Sa...