"Ya, aku gak bisa cuma diem aja di rumah!" nada bicara Sakha meninggi.
"Kamu boleh main keluar, kamu boleh seneng-seneng, mau jalan tengah malem, boleh, Ka. Boleh. Tapi satu yang harus kamu lakuin. Bilang ke aku kamu mau main. Kalo kamu gak mau aku tau kamu kemana, cukup bilang, Kak, aku mau keluar. Udah itu aja cukup."
"Aku percaya kamu gak bakal ngelakuin yang aneh-aneh, maka dari itu, jaga kepercayaanku."
•
5:00 a.m
Setalah kejadian pagi itu, Sakha sedikit berjaga jarak dengan Kartika dan dia lebih sering menghabiskan waktu di luar. Seperti hari ini, sekarang libur seusai ujian semester telah tiba, Sakha belum pulang ke rumah sejak kemarin. Dia masih sibuk dengan Gio di kafe sampai pagi ini.
"G, lu mau balik gak?" tanya Sakha sambil mengambil ponselnya di meja. "Mau balik sih, tapi jam 9 aja lah. Ntar nyokap gua nanya-nanya," Gio melirik jam tangannya. "Gua juga dah."
"Lu masuk sekolah penerbangan mana nanti?" Tanya Gio tiba-tiba.
"Kagak tau gua, G. Mungkin BIFA. Tapi, tau dah. Masih bingung, gua."
"Tanya Angga aja, atau David."
"Iya deh, ntar gua tanya. Btw lu kenapa tiba-tiba nanya gitu?"
"Gua kepikiran aja, kita kan sering main bareng, dan gua udah cukup jahat bawa lu keluar malem. Gua cuma gak pengen bikin masa depan lu hancur. Dan lu gak usah ngikut gua kalo kita udah tamat."
"Kenapa?"
"Ka, gua ini memang udah bandel. Mau diubah gimanapun, susah. Mending lu bikin gua bangga punya temen pilot. Palingan, tamat SMA, gua nyanyi di kafe aja."
•
10:00 a.m
Sakha terbangun dari tidurnya dan menyambar ponselnya yang terletak di aras nakas. "Anjir! Mampus gua!" Sakha terlonjak kaget dan berlari ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci muka.
Mengganti baju, menambahkan sedikit gel di rambutnya, mengambil tas, dan mengeluarkan mobil dari garasi, kemudian mengendarai kendaraan roda 4 itu dengan cepat sampai Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta, Terminal 3 Ultimate.
'Mampus gua, ngamuk dah bos besar telat di jemput.'
Sakha melihat sekitar, tidak ada tanda-tanda Kartika. "Azek, dijemput cowo," seseorang duduk di jok samping Sakha secara tiba-tiba, pemuda itu seketika melihat ke sumber suara. "Kaget tau, aku."
"Lama ih, kamu," Kartika menekan tombol radio. "Macet shayy," jawab Sakha sambil menekan pedal gas dengan kakinya. "Macet atau kamu ketiduran shay?" goda Kartika. "Tau aja, sih," Sakha cengengesan.
"Bang David mana?"
"Lagi di PKU. Tumben nanya dia?"
"Biar lah, sekali-sekali."
"Gak jelas emang kamu. Nanti kamu mau main?" Kartika merogoh tasnya. "Paling nongki sama G, atau jalan sama Giselle," jawab Sakha yang masih fokus ke jalan. "Mantep. Anterin aku ke kos aja, Ka. Kamu kan mau main sama Gio, aku main sama Adin." kata Kartka. "Siap nyonya besar," canda Sakha.
•
Sepulang dari kos Kartika, Sakha yang sudah memiliki janji, menjemput Giselle ke rumahnya. Perempuan itu ingin jalan-jalan karena orang tuanya sudah kembali ke Amsterdam. Sekarang mereka berdua di dalam mobil peninggalan Bapak ini. Menyusuri Ibu Kota tanpa tujuan.
"Mau kemana mba?" tanya Sakha. "Mas pilot maunya kemana?" tanya Giselle balik. "Ke hati Neng Giselle aja dah," Sakha kemudian tertawa. "Hahaha. Kocak lu," Giselle memukul bahu Sakha pelan.
"Gua mau ketemuan sama Gio. Mau ikut?"
"Kuylah."
"Mama udah balik sejak kapan?" tanya Sakha. "Tadi subuh. Makanya gua bosen parah. Soalnya kalo ada dia, gua ngeliatin emak gua latihan zumba," jawab Giselle. "Ajib sih emak lu, masih kuat zumba ya, dia."
•
Sakha meletakkan ponselnya di atas meja saat mereka sudah berada di AK-47. Gio kembali lagi ke tempat ini setelah pulang dari rumahnya. "Angga mana? Biasanya dia disini?" tanya Sakha. "Kagak tau gua, lagi flight mungkin."
"Gua mau jual ini, Ka," Gio mengeluarkan sesuatu dari tasnya sambil melihat sekitar. "Vape?" tanya Sakha ragu. Gio mengangguk. "Lu ngevape G?" Giselle tidak percaya. Gio mengangguk.
"Lu kira-kira bisa bantu gua jual gak?"
"Bisa aja. Tapi coba dulu di fjb kaskus, kalo 3 hari belom ada yang mau, ntar gua bantuin."
"Kalau kita udah gak sama lagi, apa lu masih mau bantuin gua?" tanya Gio. Sakha sedikit kaget mendengar pertanyaan itu. "Maksudnya?" tanya Sakha balik. "Maksud gua, kalo kita udah kuliah, apa lu masih mau bantuin gua kaya gini."
"Mau lah. Gila, lu, G."
"Walaupun gua bukan G yang sekarang?"
"Iya lah. Btw kenapa?"
"Ini pertanyaan yang terakhir dari gua, setelah itu, lu boleh nanya. Meski gua udah jadi pemakai obat terlarang, lu mau kan bantuin gua buat rehab? Lu masih mau kan nemenin gua main disini? Kita bro kan, Ka?"
"Denger ya, bro, banci, gay, bajingan sekalipun, kalo mereka baik sama gua dan mau berteman, gua ya welcome aja. Gua gak pernah kalo temenan liat-liat ataupun milih. Tapi, kenapa lu bilang gitu?"
"Jujur aja ya, gua sebenernya pemakai obat terlarang, dan Miko udah tau, tapi Angga sama Al, belum. Gua masih mencoba buat lepas dari obat-obatan itu, tapi susah, Ka. Jadi gua rasa, setelah vape gua jual, kita gak bisa jadi brother lagi."
"Demi apa? Sumpah lu, G? Gak yakin gua, ah."
"Demi lovato. Sumpah gua, beneran. Gua minta, kita gak usah sedeket ini lagi, cukup jadi temen aja. Gua gak mau ganggu masa depan lu, pilot andalan gua. Jadi, maaf kalo gua udah bawa pengaruh buruk buat lu. Gua duluan, ya."
•
A/n
Ada yang udah nonton Dear Nathan? Demi kuku kaki spongebob, gue sedih nontonnya. Dan gue hampir nangis. Hampir. Penyebab gue hampir nangis adalah ibu-ibu sebelah, jadi gini ceritanya..
Gue pergi sama temen ber5, nonton Dear Nathan, dan sialnya sebelah gua itu stranger, dan ibu itulah strangernya. Di adegan sedih, si ibu nelpon, dan ini apa yang dia bicarakan di telpon..
Ibu itu: Ha, halo? Apa? Kambingku belom dikasih makan? Betulan kau, belom dikasih makan? Kau kasih la, kambing aku makan.
Wat de.. waktu denger dia nelpon, gue bingung mau ngakak atau sedih karna filmnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Pride
Teen FictionMenjadi pilot bukan sekedar cita-cita untuk ku. Tapi adalah impian agar bisa selalu dekat dengan ibu dan menikmati ciptaan Tuhan dari atas. Mengantarkan ratusan hingga ribuan jiwa ke tempat tujuan, juga akan menjadi kebanggaan tersendiri buatku. -Sa...