Sudah 1 bulan bapak pergi. Sekarang Kartika tinggal di rumah mereka bersama Sakha. Tapi sesekali dia pergi ke kosan untuk memastikan kamarnya aman saat ia tinggal.
Sekarang malam minggu, dan Sakha tidak pergi main bersama Ray, karena sobatnya itu berjualan di toko. Sakha hanya bisa memainkan game online dari pc rakitan bapak. Headset telah terpasang, dan Sakha siap untuk beraksi malam ini.
Baru saja dia akan menyentuh mouse gaming hitamnya, Kartika masuk dan duduk di kasur. "Dek," panggilnya. Sakha yang mendengar panggilan Kartika samar-samar melepas headsetnya. "Saya?"
"Kamu mau masuk SMA mana? Biar aku urus dari sekarang," Kartika sekarang harus menghidupi Sakha seorang diri. Mereka tidak memiliki keluarga di Jakarta. Keluarga besar bapak dan ibu berada di Yogyakarta.
"Waktu itu bapak suruh aku masuk SMA biar daftar polisi," Sakha mengurungkan niatnya untuk bermain game. Dia lebih memilih mengobrol bersama kakak perempuannya itu. "Nanti daftar polisinya gimana?"
Sakha menggeleng. "Tapi kak, aku bilang sama bapak kalau aku mau jadi pilot," Sakha duduk di sebelah Kartika. "Bapak izinin?" tanya wanita itu. Sakha mengangguk. "Kamu kapan ngobrol sama bapak?"
"Satu hari sebelum kejadian itu kak,"
"Hah? Sure?" Kartika terkejut. Sakha mengangguk.
"Dek, bapak gak pulang satu hari sejak aku balik loh. Kamu serius, sayang?"
"Iya kak. Aku inget banget. Malam itu aku duduk berdua kok sama bapak di luar. Kamu kayanya di kamar, kak."
"Kamu beruntung, Ka. Bapak masih peduli sama jagoannya," Kartika tersenyum sambil mengelus kepala Sakha. "Maksud kakak?" Sakha terkejut. Kartika mengangguk, dia seakan tahu isi hati Sakha.
"Dek, besok kakak harus nginep di kosan kayanya," kata Kartika sambil memainkan ponselnya. "Kenapa?" Sakha mengganti-ganti Channel tv. "Ada flight pagi," jawab Kartika. "Yaudahlah. Ke kosannya kapan, kak?"
"Besok malem. Kamu gimana?" tanya Kartika. "Masa laki gak berani di rumah sendiri. Ya aku gapapa lah, kak. Kalo ada hantu aku cabs ke pos," canda Sakha
•
Pagi ini Sakha, Ray, dan beberapa teman lainnya akan bermain futsal melawan kelas sebelah. Kelas sebelah adalah musuh besar bagi kelas Sakha.
"Kak, aku pergi," pamit Sakha. "Iya, hati-hati," Kartika menyahut dari dapur. Sakha mengambil sepedanya dan memanggil Ray.
"Sebel banget gua sih," umpat Ray. "Calm down bro. Gua juga sebel kali. Siapa yang gak kesel digituin sama si Feri," Sakha mengingat kejadian beberapa hari yang lalu.
Tak perlu waktu lama untuk sampai. Sekarang Sakha dan Ray telah sampai di lapangan futsal indoor yang telah mereka pesan sebelumnya. Disana terlihat Dana, Joshua, dan Rafael yang telah menunggu. "Sup bro," sapa Joshua. "Mana anak sebelah nih?" tanya Sakha sambil mencampakkan tasnya sembarang.
Joshua menggeleng. "Tau dah si Feri, kagak jelas tu bocah. Gua line katanya otw," Joshua menunjukkan percakapnnya dengan Feri di line.
"Takut dah palingan dia," kata Dana. "Iya, bocah maunya berantem ae," Rafael jadi ikut-ikutan. "Tapi gapapa kalo berantem. Gua jotos-jotosan sama dia juga oke aja," Ray emosi. "Lah, kok pada kek bocah sih," sindir Sakha.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Feri dan teman-temannya tiba. Mereka kemudian memulai pertarungan yang sengit ini.
3 hari yang lalu, anak kelas sebelah meledek kelas Sakha karena menyukai musik reggae. Namanya Feri. Awalnya Sakha dan yang lainnya masih biasa saja. Tapi setelah dibiarkan, Feri makin menjadi dan timbul lah niat untuk berkelahi.
Bukan Sakha namanya kalau menyelesaikan masalah dengan kekerasan, Sakha kemudian mengajak Feri dan teman-temannya bertanding futsal. 'Kalo elu gak mau, berarti lu cuma modal bacot, cupu banget emang' itu yang Sakha katakan agar Feri dan teman-temannya mau.
•
Hasil akhir pertandingan mereka seri. Sakha pikir mereka akan berdamai, ternyata tidak. Feri menantang untuk berkelahi hari rabu, sepulang sekolah. Jujur, Sakha ingin sekali menolak. Tapi sepertinya tidak bisa.
Sekarang Feri dan 4 temannya telah pulang, sedangkan Sakha dan yang lainnya masih duduk di kantin futsal. "Siapa yang ngajakin berantem?" Sakha kemudian mengunyah nasi gorengnya. Tidak ada yang menjawab. Ray sibuk dengan ponselnya, Dana memperhatikan makanannya, Rafael dan Joshua pura-pura tidak dengar.
"Bosen lah gini. Mending gua pulang. Ini nasi goreng, gua take away aja dah," Sakha bangkit dari duduknya. "Eh iya iya," Joshua menahan Sakha. "Si Feri yang ngajak," Joshua angkat bicara.
"Nah, gitu dong. Ngomong," Sakha duduk kembali. "Tadi tu bocah bilang berantem 1 lawan 1 aje sama dia. Terserah siapa yang mau lawan Feri. Tapi jangan Sakha," jelas Dana. "Ngakak gua coy," Ray tertawa.
"Susah kalo gini mah," kata Sakha. "Yaudah. Siapa yang mau lawan Feri?" dia lalu meneguk air mineralnya.
"Fael aja lah," kata Joshua. "Ndak. Jangan gua. Lu aja Jo," tolak Rafael. "Ray gimana?" tanya Joshua. "Gua mah kuy aja," Ray memang suka berkelahi. Tapi, jika dia hendak berkelahi, Sakha selalu menahannya.
"Yaudah, elu Dan?" tanya Ray kepada Dana. "Sok, elu aja, Ray yang berantem," kata Dana.
Drtt..
Ponsel Sakha bergetar. Sebuah panggilan masuk. "Eh, kakak gua telpon. Bentar ya," Sakha bangkit dari duduknya dan pergi ke luar.
"Halo," Sakha memulai pembicaraan. "Dek, kamu dimana?" tanya Kartika. "Masih di futsal. Kenapa?"
"Gapapa. Kamu ada duit gak?"
"Ada. Dikit. Kenapa? Mau kasih duit?"
"Enggak. Titip makanan. Ntar aku ganti uangnya."
"Oke sip. Nasi goreng aja ya,"
"Iya."
•
Sakha mengantongi ponselnya dan kembali duduk. "Kenapa, Ka?" tanya Ray. "Biasa, kakak gue minta beliin makanan," jawab Sakha
"Guys, gua cabut duluan ya," pamit Sakha. "Iya sip," Ray tersenyum.
•
1:00 p.m
Sakha duduk di pinggiran jendela kamarnya sambil memandang diecast pesawat Garuda Indonesia yang sedang dia pegang. Sakha teringat akan bapak. Biasanya dihari minggu siang seperti ini, bapak mengajak Sakha latihan memanah di halaman belakang atau melihat bapak latihan menembak bersama teman-temannya.
Sekarang semua itu hanyalah kenangan indah yang membuat Sakha senyum-senyum sendiri ketika mengingatnya. Diecast yang dia pegang adalah pemberian bapak ketika dia kelas 6 SD.
•
Hai! Thanks yang udah baca. Btw cerita ini udah lama gak up. Ehehe..
KAMU SEDANG MEMBACA
My Pride
Teen FictionMenjadi pilot bukan sekedar cita-cita untuk ku. Tapi adalah impian agar bisa selalu dekat dengan ibu dan menikmati ciptaan Tuhan dari atas. Mengantarkan ratusan hingga ribuan jiwa ke tempat tujuan, juga akan menjadi kebanggaan tersendiri buatku. -Sa...