"Astaga! Sakit banget!" teriak Giselle sambil menarik lengan baju Sakha. "Njir!" Sakha kesakitan ketika Giselle menarik lengan bajunya terlalu keras. Sekarang obat bius itu telah disuntikkan dokter. Giselle sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Dokter perlahan menjahit siku Giselle.
•
Perban putih memeluk siku Giselle. Seakan siku perempuan itu dan perban adalah sepasang kekasih yang tidak dapat dipisahkan. "Syukurlah nyokap lagi di Amsterdam," gumam Giselle sambil menatap layar ponselnya yang berisi pesan 'Giselle, mama dan papa harus kembali ke Amsterdam. Tdk tahu kapan kembali ke Jakarta lagi. Mama usahain secepatnya'
"Far, gua ke administrasi dulu. Gio mana?" tanya Sakha. "Sip. Gak tau tuh dia dimana," Farah menatap sekitar. Sakha kemudia pergi ke administrasi. Untung saja tempat itu tidak ramai. Setelah membayar, dia membawa resep obat.
"Sel, ini," Sakha menyerahkan resep obat kepada Giselle. "Eh, kok lu yang bayar? Aduh ga enak gua jadinya. Ini gua ganti deh," Giselle cepat-cepat mengambil dompetnya dari tas. "Simpen aja uangnya ya, buat jajan," tolak Sakha sambil tersenyum. "Yuk pulang, sekalian ituin obat." Sakha merangkul perempuan dengan perban itu.
•
"Jangan lupa minum obat ya," pesan Sakha kepada Giselle ketika dia mengantar perempuan itu ke rumah. "Ehehe, iya makasi ya," Giselle tersenyum. Sakha membalas senyuman itu dan keluar dari pekarangan rumah Giselle, kemudian menutup pagar. Sakha lalu melangkahkan kakinya menuju rumah tercinta.
Pagar rumah terbuka, ada beberapa sepatu yang tidak teratur letaknya, dan pintu depan terbuka setengah. Pemuda itu cepat-cepat masuk, Sakha takut ada maling. Dia melepaskan sepatunya sembarang dan melangkahkan kaki ke dalam rumah.
Terlihat Kartika dan beberapa temannya sedang bermain kartu UNO. "Hai, Ka," sapa Kartika. "Hai," balas Sakha pendek dan berjalan cepat menuju kamarnya. 'Gua kira maling, jir' ucap Sakha dalam hati. Dia membuka kemejanya dan melemparkan benda itu entah kemana. Hanya kaus putih polos yang membungkus badannya sekarang.
Sakha menekan tombol power pcnya. Dibetulkannya letak diecast pesawat yang tidak beraturan sambil menunggu pc hidup. Setelah benda itu benar-benar menyala, Sakha log-in ke akun e-mailnya untuk mengecek pesan baru. Baru saja Sakha memakai headset, pintu kamar terbuka.
"Ka, main diluar kuy, masa di dalem aja. Itu main sama temen-temenku!" ajak Kartika. Sakha mengangguk dan melepas headsetnya. Sore ini rumah Sakha menjadi bandara untuk beberapa jam. Kata Sakha, 'karena rumah ini diisi sama pramugari, pilot, dan calon pilot kece'.
"Ikutan dong," Sakha duduk di sebelah Adin yang telah memegang kartu. "Ulang dong," pinta Sakha. "Ini orang dateng-dateng ngerusuh ya," canda Adin. "Yaudah, kuylah ulang."
•
Kata Gio, harga diri adalah sesuatu yang sangat penting dari segalanya. Tapi menurut Sakha, iman adalah sesuatu yang paling penting dari diri seseorang. Sakha salut saat mengetahui Gio tidak jauh berbeda dengan Ray. Hanya saja dia lebih brutal.
Sikap Gio yang peduli dengan teman membuat Sakha senang. Ternyata pemuda sangar sepertinya bisa baik juga. Entah setan apa yang bisa membuat hati Farah luluh dengan Gio.
Sakha sempat merenung saat pulang dari rumah Giselle tadi. Apa yang bisa dia banggakan dari dirinya. Menurutnya dia hanyalah manusia biasa yang punya banyak dosa dan tidak memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan dari dirinya.
Tapi dulu Bapak pernah berkata, 'Bapak bangga punya anak laki kaya kamu, Ka. Bapak bangga punya jagoan.'
Mungkin Sakha bisa bangga di depan Bapak. Tapi apa yang bisa dia lakukan untuk Indonesia dan dunia. Mungkin tidak ada. Tapi, setidaknya walaupun Sakha tidak tahu apa yang bisa dia banggakan dari dirinya, pemuda itu masih sering bersyukur atas apa yang telah Tuhan beri.
•
7:00 p.m
Sakha duduk di sofa ruang tamu bersama David yang pukul 6 sore tadi datang. Sakha membuka ruang obrolan antara dia dan Giselle.
Sakha Samudra: siku apakabar?
Giselle Anindya: kabar baik alhamdulillah
Sakha Samudra: sok kuat. Anwy itu knp bisa sobek?
Giselle Anindya: ada deh
Sakha Samudra: bacot
Giselle Anindya: gasuka dikasarin :(
Sakha Samudra: maafkan. Kakanda khilaf
Giselle Anindya: gayalu lah, Ka. Kocaq
Sakha tertawa kecil melihat percakapan konyolnya dengan Giselle malam ini. Sakha mengunci ponselnya dan melirik David yang duduk di sebelahnya. "Bang Vid, cari makan kuy!" ajak Sakha. "Makan apaan?" tanya David. "Makan ati," canda Sakha. "Malah makan ati. Haha. Abang beneran ini, mau makan apa?"
"Makan apa aja. Jajan yang di depan itu."
"Yaudah. Yuklah. Abang bayarin."
"Asek, dapet makan gratis."
•
KAMU SEDANG MEMBACA
My Pride
Teen FictionMenjadi pilot bukan sekedar cita-cita untuk ku. Tapi adalah impian agar bisa selalu dekat dengan ibu dan menikmati ciptaan Tuhan dari atas. Mengantarkan ratusan hingga ribuan jiwa ke tempat tujuan, juga akan menjadi kebanggaan tersendiri buatku. -Sa...