Bunga Punya Sakha

3.3K 214 2
                                        

Kain lap dan kemoceng sudah berada di tangan Sakha. Dia menggeser kaca yang menjadi tutup lemari koleksi diecastnya. Sakha mengeluarkan satu persatu diecastnya. Setelah semua benda itu berada di luar kandangnya, Sakha membersihkan kandang diecastnya.

Satu persatu miniatur pesawat miliknya dia bersihkan. Setelah dirasa sudah bersih, Sakha memasukkan kembali diecast koleksinya. Pesawat tempur yang Bapak berikan Sakha letakkan di barisan paling depan.

Minggu pagi ini dia habiskan dengan bersih-bersih koleksi. Kartika masih libur dan akan terbang kembali hari Senin. Pemuda itu duduk di kursi gaming kesayangannya. Kursi gaming model kursi balap itu dibelikan Bapak saat Sakha kelas 8.

"Kak, jalan kuy!" ajak Sakha begitu melihat kakaknya masuk ke dalam kamar. "Mau jalan kemana?" tanya Kartika. "Enggak tau deh," Sakha menekan keyboardnya sembarang. "Kamu libur kapan? Yang agak lama gitu," Kartika memerhatikan kalender.

"Minggu depan mungkin. Tapi cuma Kamis, Jumat, Sabtu."

"Jogja aja lah. Mau?" ajak Kartika. "Sekalian ziarah," lanjut wanita itu. "Mau lah. Masa gak mau," Sakha senang. "Aku pesen tiketnya ya, ntar Kakak cuti. Kamu bolos sampe hari selasa mau gak? Kita pulang hari selasa, terus rabunya kamu masuk."

"Oh ya jelas mau lah kalo disuru bolos." Sakha tertawa. Minggu depan para siswa diliburkan dalam rangka guru-guru pergi ke Puncak. Dan itu membuat semua siswa senang. "Kak, aku ke rumah Giselle bentar boleh?"

"Yaudah boleh. Sekalian beli makanan ya kalo inget, ini uangnya," Kartika mengambil uang dari dompetnya. "Sip sip oke."

"Giselle!" teriak Sakha dari depan rumah Giselle. Tak lama, perempuan itu keluar dari rumahnya. "Eh, Bang Pilot," Giselle membuka pagar rumahnya. "Masuk, Ka. Gua lagi sendiri," ajak Giselle. "Yee, si goblok. Gua gak jadi masuk lah kalo elu sendiri, di luar aja," kata Sakha. "Kenapa?" tanya Giselle. "Ada setan ntar, mba."

"Yaudah. Di teras aja ya," Giselle tersenyum. Sakha mengangguk dan mengikuti Giselle duduk di teras rumahnya. "Itu siku apakabro?" tanya Sakha. "Baik. Biasa aja. Minggu depan temenin kontrol mau ga?" Giselle menatap sekitar. "Liat nanti ya. Gua mau pulang soalnya," jawab Sakha. "Pulang kemana?"

"Ke Jogja. Gua kan anak Jogja ketjeh," kata Sakha sok keren. "Gak danta lu anju," Giselle tertawa. "Eh, main ke tongkrongan gua kuy!" ajak Sakha. "Tongkorang lu dimana?" tanya Giselle. "Udah ikut aja." Sakha menarik tangan Giselle yang tidak sakit. "Cepetan naik." suruh Sakha agar Giselle naik ke motornya.

Sakha mengendarai motornya menuju pos satpam yang sudah lama tidak dia kunjungi. "Pak Tarjo!" sapa Sakha sambil memarkirkan motornya di depan pos satpam. "Eh, Bang Samudra," kata Pak Sutarjo. "Udah bawa cewek aja nih," canda pria itu. "Temen ini mah," Sakha tertawa kecil. "Sini Sel, duduk." Giselle kemudian mengikuti Sakha.

"Tumben hari minggu kesini. Ray mana?" tanya Pak Sutarjo. "Masih di Jerman tu bocah," kata Sakha. "Wah, gak ada temen main catur lagi dong," Pak Sutarjo melepas topinya. "Ya gitu deh, Pak. Asal waktu pulang ke Indo dia gak lupa cara main catur aja. Haha."

"Iya tuh bener."

"Bunga aku masih ada gak?" tanya Sakha. Pak Sutarjo mengangguk. "Ada di belakang, ambil lah, bawa pulang, sayang bunganya, Ka," kata pria itu. "Sel, sini deh ikut gua," ajak Sakha. Dia kemudian berjalan ke belakang pos diikuti Giselle. Sakha sedikit menunduk dan mengambil sebuah bunga yang berada di dalam pot. 

"Ini nih punya gua," Sakha menunjukkan bunga miliknya. "Gua tanam bunga dari kelas 8. Tapi kalo bunganya udah besar, gua kasih ke Mamanya Ray," jelas Sakha. Ada 3 bunga yang berbeda dengan pot yang berbeda pula. 2 diantara bunga itu sudah cukup besar, sedangkan sisanya masih kecil. "Yang ini gua tanem waktu kita baru masuk SMA. Dan karna takut gak ada yang ngurus, gua nitip disini." Sakha menunjuk bunga yang paling kecil.

"Kok lama tumbuhnya?" tanya Giselle. "Mana gua tau, lu tanya aja sendiri," Sakha mengambil bunganya. "Lu mau gak? Tapi yang besar?" tawar Sakha. Giselle mengangguk senang. "Yaudah. Ntar gua anter ke rumah."

"Sel, lu jaga baik-baik ya, bunga itu harta karun buat gua. Jadi lu harus jaga baik-baik." Sakha memberi amanah. "Siap kapten." Giselle tersenyum. "Gua balik dulu ya, mau ke rumah Ray," pamit Sakha. Giselle tersenyum dan melambaikan tangan. 

Sakha mengendarai motornya ke rumah sambil membawa bunga untuk Mama Ray. Untung saja motor yang Sakha naiki adalah motor matic. Jadi dia tidak usah pusing membawa bunga tersebut. 

Sakha memarkirkan motornya di depan rumah Ray yang bersebelahan dengan rumahnya. "Tante!" panggil Sakha dari luar pagar. Seorang wanita yang tak asing di mata Sakha keluar dari rumahnya dan menyapa Sakha hangat. "Hai Sakha!" Mama Ray tampak senang dengan kehadiran Sakha. "Aku mau ngasih bunga, Tan. Tante masih mau kan?"

"Mau dong. Kapan sih Tante nolak," Mama Ray terlihat ramah. Sama seperti Ray, dia selalu baik kepada siapa saja. Sakha mengangkat bunga dan membawa benda itu masuk ke halaman rumah Ray. "Sini aja, Ka," Mama Ray menunjuk satu tempat kosong. "Siap, Tan."

"Kamu kenapa suka ngurus bunga gini sih?" tanya Mama Ray. "Bisa ngurusin bunga dari bunga itu kecil sampe besar jadi suatu kebanggaan tersendiri buatku, Tan. Sama kayak Tante ngurus Ray dari kecil sampe bisa ke Jerman." Sakha tersenyum dan mengibaskan tangannya pelan. "Iya sih, Ka. Pasti Ibu Bapakmu bangga punya anak yang bertanggung jawab kayak kamu gini. Ngomong-ngomong, kenapa kamu kasih ke Tante? Kenapa gak kamu jual aja?"

"Kalo dijual itu sama aja aku kayak bisnis bunga, Tan. Aku kasih ke Tante, karna aku percaya. Gitu aja sih intinya, hehe. Aku pamit dulu ya, Tan."

"Iya. Nanti main lagi ya kesini."

Danta: jelas.
Gak Danta: Gak jelas
Diecast: miniatur gitu deh..

My PrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang