At least we are together, i know i'm not alone
-Alan Walker-Sakha menyalakan lagu favoritnya dengan keras. Lagu dengan judul say you won't let go itu terdengar lebih menarik jika didengar versi reggaenya. "Kerasin lagi bos," suruh Dana yang duduk di sebelah Sakha.
Sakha membesarkan volume ponselnya. Siang ini ibu Dian masih berhalangan hadir. Jadi bisa dibilang ini adalah jam kosong.
"Permisi panggil bang Sakha Samudra," seorang anak kelas 7 menampakkan tubuhnya di ambang pintu kelas Sakha. "Iya?" Sakha menyahut dan berdiri. "Bang Sakha dipanggil ke kantor, makasih," anak itu kemudian pergi.
"Lo cabut lagi, Ka?" tanya Giselle, teman Sakha. "Kagak ada gua cabut, dah. Eh, nih kalo masih mau denger lagu, lu pegang aja," Sakha memberikan ponselnya kepada Giselle. Sakha lalu berjalan keluar kelas. Sakha dan teman satu kelasnya memanglah penikmat musik reggae. Maka dari itu, jika sedang mendengarkan musik reggae, aneh rasanya jika berhenti ditengah jalan.
"Ati-ati, Ka," kata Ray. Sakha hanya tersenyum kecil.
Seingat Sakha, dia tidak ada cabut belakangan ini. Kenapa dia dipanggil ke kantor? Banyak pertanyaan yang berputar di pikiran Sakha.
Sakha masuk ke dalam kantor. Dia disambut oleh pak Wahyu, kepala sekolah. "Sakha, ikut saya," pak Wahyu berjalan diikuti Sakha.
"Duduk," pak Wahyu mempersilahkan Sakha duduk.
"Sakha Arshana Samudra. Itu nama kamu kan?" pak Wahyu memastikan. Sakha mengangguk, "Iya, pak,"
"Anak kedua dari dua bersaudara. Putra dari bapak Renaldi yang berprofesi sebagai polisi," pak Wahyu memandang catatan yang ada di mejanya. "Iya pak. Ada apa ya?"
"Sulit buat mengatakan ini, nak," pak Wahyu menggelengkan kepalanya. Sakha memasang wajah bingung.
"Tadi pagi, bapak baru terima telpon dari kakak kamu," omongan pak Wahyu terputus. "Bapak kamu meninggal tadi pagi." pak Wahyu menundukkan kepalanya. "Innalillahi," ucapnya. Sakha tidak bisa percaya.
"Ke.. kenapa ya pak?" anak laki-laki ini berusaha tegar. "Bapak kamu kena peluru dari seorang buronan, tepat di dada sebelah kiri. Di jantung," kata pak Wahyu dengan sangat hati-hati. "Jadi sekarang gimana, pak? Saya bisa pulang kah untuk ngeliat bapak terakhir kalinya?"
"Ya. Biar bapak antar. Nanti, guru dan teman-teman menyusul."
"Um, gak usah pak. Terima kasih. Saya naik sepeda. Nanti sepedanya ilang lagi, hehe." Sakha berusaha terlihat tidak sedih di depan pak kepala sekolah.
•
"Guys, gua cabut dulu. Bye all," Sakha mengambil tas dan ponsel,dia pamit dengan nada sedih, lalu melambaikan tangan kepada teman-temannya.
Anak lelaki ini berjalan dengan lemas. Dengan siapa dia akan tinggal? Bagaimana hidupnya setelah bapak tiada.
"Gaes, Sakha kenapa?" kelas seketika menjadi ricuh setelah Sakha keluar. Semua bertanya apa yang terjadi. Tapi, kericuhan kelas menjadi hening ketika pak Wahyu datang.
•
Sakha mengayuh sepedanya kencang-kencang. Tidak peduli dengan apa yang ada di depannya. Tetes air mata mengalir ditengah perjalanan Sakha. Hatinya hancur menjadi kepingan kecil. Seorang lelaki yang selalu menjadi panutan hidupnya telah tiada sekarang.
Sakha memarkirkan sepedanya di depan pagar. Rumah sepi sekarang. Mungkin tidak ada orang. Sakha mencoba masuk ke dalam untuk mencari kak Kartika. Sakha membanting pintu rumah dan berlari kedalam.
Terlihat seorang pramugari dengan seragam biru toska duduk sambil menundukkan kepalanya. "Kak! Bapak mana?!" teriak Sakha. Kartika hanya menggeleng sambil berusaha menatap Sakha. "Masih di rumah sakit, Ka," jawab Kartika dengan pelan. Make up Kartika telah luntur sekarang.
"Rumah sakit mana? Biar kita kesana sekarang," Sakha berjalan cepat menuju kamarnya untuk mengambil kunci motor.
Kartika menunjukkan ponselnya yang memperlihatkan rumah sakit dimana bapak berada ketika Sakha telah kembali ke ruang tamu. "Hadeuh, itu jauh. Yaudah yuk lah kak. Sakha ambil helm satu lagi dulu."
Tak perlu waktu lama, Sakha telah kembali. Kartika mengelap air matanya dan meraih kunci motor.
•
'Jangan pernah takut sama kehilangan' kalimat yang pernah Kartika katakan berputar di pikiran Sakha. Kenangan 6 tahun yang lalu. Anak dengan usia 15 tahun ini hanya bisa mencoba tegar menghadapi musibah yang sedang dia alami.
Sedikit demi sedikit air mata jatuh dari mata Kartika. Dia hanya bisa menangis dalam diam sambil mengendarai motor. Sakha pun begitu. Dalam diam dia berdoa, dalam diam dia berpikir. Pria gagah yang telah mendidiknya dari kecil, sekarang sudah berpulang.
Dulu bapak pernah berkata 'kalau lah kamu sedih, jangan dinampakkan ke orang. Toh, gak ada yang peduli. Kamu akan terlihat cengeng dan rapuh, lebih baik simpan saja sedihmu itu sendiri'
Itulah alasan Sakha untuk tetap telihat tegar menghadapi cobaan. Inilah hidup, kadang di atas kadang di bawah. Tuhan tidak akan memberi cobaan diluar kemampuan hambanya. Sakha percaya itu.
'Bapak, terimakasih buat selama ini. Terimakasih udah didik Sakha dari kecil sampe bisa jadi ABG. Terimakasih bapak buat ilmu, kasih sayang, dan semua yang bapak berikan. Kalau ini emang udah jalan terbaik, Sakha gak bisa ganggu. Mungkin bapak lebih bahagia sama ibu disana. Sakha akan berusaha ikhlas menerima ini. Sakha gak akan merasa sendiri. Karena bapak, ibu, dan kakak ada disini, di hati Sakha.'
KAMU SEDANG MEMBACA
My Pride
Ficção AdolescenteMenjadi pilot bukan sekedar cita-cita untuk ku. Tapi adalah impian agar bisa selalu dekat dengan ibu dan menikmati ciptaan Tuhan dari atas. Mengantarkan ratusan hingga ribuan jiwa ke tempat tujuan, juga akan menjadi kebanggaan tersendiri buatku. -Sa...