Hidup adalah segalanya. Cerita tentang duka ataupun tawa ada di dalamnya. Hidup adalah jalan. Berjuta-juta manusia melewatinya dengan persimpangan berbeda. Aku adalah salah satunya. Masih tetap mengarungi waktu sejak tujuh belas tahun yang lalu. Menapaki tanah, menghirup udara dengan bebas, dan tetap bertanya-tanya. Hidup ini apa? Tujuan? Orang-orang bilang, hidup adalah rintangan yang harus kulewati ketika ingin mencapai tujuan. Maka dari itu, mereka selalu mengucapkan kata yang sama; bertahanlah. Tapi, apa yang sebenarnya aku inginkan? Untuk apa aku lahir di dunia?
Layaknya dua sisi, hitam dan putih. Cerah dan gelap. Aku memilikinya. Tapi aku merasa kegelapan sepenuhnya mengukungku. Hingga sesak, hampir membuatku tercekat. Karena itu, kadang aku membenci diriku sendiri dan berharap untuk menjadi orang lain. Andai aku bukan aku, bagaimana aku sekarang? Perasaanku adalah musuh terbesarku. Ia mengoyakku, kadang membuatku bangkit, namun menjatuhkan di waktu yang hampir bersamaan. Aku nyaris gila. Apa yang sebenarnya aku inginkan? Untuk apa aku memiliki perasaan?
Ketika aku jatuh, yang aku inginkan hanyalah sandaran. Ketika aku ingin bercerita, yang ada hanyalah helaan kosong dari hidungku. Bagaimana bisa aku dilahirkan sebagai manusia yang penuh dengan keluh? Tidak bisa, meski sebenarnya aku sangat membutuhkannya. Aku harus belajar bangkit dan mengendalikan perasaanku sendiri. Satu-satunya peganganku adalah mereka yang selama ini mencintaiku.
Ketika aku mulai kesakitan, hanya tangis yang menjadi pelarianku. Dadaku serasa ditikam, hampir-hampir tak bisa menghirup udara. Untuk alasan, mungkin semua ini hanya bagian dari ketakutan yang berlebihan. Ketakutan yang aku simpan dalam diam. Ketakutan ... yang tak bisa aku ceritakan.
Dari hidupku selama tujuh belas tahun, aku banyak menarik keputusan. Keputusan yang paling sederhana hingga yang paling menyakitkan. Menyakitkan? Lucu. Bagaimana aku bisa merasakannya ketika akulah yang mengambil keputusan itu? Aku sering menyalahkan orang-orang yang tidak mengertiku. Tapi sejak saat itu, aku tertegun. Sesungguhnya, akulah yang tidak pernah mengerti aku. Fakta bahwa keegoisan sudah menyeretku pada keputusan yang salah. Hingga hari ini, saat tinta penaku masih menari di atas kertas putih, aku masih menyesalinya. Ketika aku meminta kesempatan pada waktu dan membuangnya sekali lagi, saat itulah aku menjadi manusia terbodoh dan kejam. Maka, aku muak. Muak pada orang-orang yang menganggapku sebaik malaikat, padahal aku cacat.
Kini aku mengambil sebuah tujuan dalam hidupku. Keputusan akan aku ambil sekali lagi. Mereka bilang, mungkin manusia tidak bisa mengubah nasib. Namun selayaknya perahu, bisa memilih dan menuju pelabuhan yang lebih baik. Kali ini, aku akan mengakui diriku sebagai aku. Amarah, kesakitan, ketakutanku yang selalu menjadi racun dalam tubuhku akan kujadikan sandaran untuk bangkit lagi. Kesalahanku yang dulu, kuharap tidak terjadi lagi. Aku hanya ingin mengarungi hidup, melewati setiap kejutan di persimpangan, lalu menarik keputusan tanpa ada penyesalan di belakang.
Aku hanya inginkan itu. Aku sangat menginginkannya.
Berjuanglah sedikit lagi. Berjuanglah sedikit lagi.
Aksara ini hanya bagian dari gelisah perasaan yang aku rasakan. Aksara-aksara ini tak terlalu berharap untuk didengarkan. Perhatikan bila kamu ingin. Cukup untukku, sungguh. Tak usah banyak kata karena yang aku inginkan hanyalah hal yang paling sederhana; mengertilah dan pahami rangkum rasaku.
16-01-2017
Manik D.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pelepas Rasa 2
PoetryAkhirnya pun, hanya, selalu, dan kutumpahkan pada kata dan kata tentang rasaku. Copyright 2016 by Aksara- //Manikdewi. #214 Poetry on 10/6/17 #164 Poetry on 15/6/17