Awalnya hanya sekadar obrolan, ringan. Aksara-aksara yang mengandung jenaka bertebaran. Diselingi denting gelas, garpu dan sendok aku genggam.
Lalu topik itu datang. Mereka menyebut namamu penuh kasihan. Aksara-aksara itu berganti kata keprihatinan. Mereka seolah menyayangkan.
Aku yang diam memperhatikan. Asmaramu yang pupus di tengah jalan. Kudengar semua tentangmu dari mereka. Tapi percayakah? Aku yang menyadari duluan.
Orang-orang ini, bukan. Salah satu di antara mereka.
Meski perasaanku tidak dianggap, itu bukan karena dia tidak peduli. Akulah yang bersembunyi tanpa mau menyuarakan rasa. Dan tahu kalian sedekat nadi, bohong bila aku tidak iri.
Tapi kurasa semua akan mudah. Karena dia yang kamu anggap saudara.
Tidak apa. Mungkin aku memang tidak bisa mendekatimu atau jalan kita hanya lurus, tanpa persimpangan yang akan membuat kita bertemu.
Begini saja terus, karena jujur juga tidak ada artinya lagi sekarang, dan mengutarakan rasa hanyalah membuat perasaan lain ikut tersakiti. Aku yakin.
Jadi, diam-diam, kutitipkan kata-kata penyemangat itu padanya, menggantikanku untuk menyampaikannya padamu.
4 Des 16

KAMU SEDANG MEMBACA
Pelepas Rasa 2
PuisiAkhirnya pun, hanya, selalu, dan kutumpahkan pada kata dan kata tentang rasaku. Copyright 2016 by Aksara- //Manikdewi. #214 Poetry on 10/6/17 #164 Poetry on 15/6/17