Juni 2015

1.5K 128 20
                                    

Semakin ku lihat masa lalu, semakin hatiku tak menentu. Tetapi, satu sinar terangi jiwaku saat ku melihat senyummu.

Adera - Lebih Indah

-Malam, 18 Juni 2015-

"RA, ultah Ara sebenernya kapan sih? Juni apa Juli?" Tanya Haris sambil mengendarai motornya.

"Gak tau, deh. Lupa. Udah lama soalnya," jawabku asal seraya membenahi pashminaku yang tertiup angin kesana kemari.

"Ck, ih, serius ah. Mau dikadoin nggak, nih?"

"Apaan mau ngadoin bilang-bilang. Inisiatif itu mah, jelek dasar," ujarku gemas.

"Ya, kali gitu mau request pengen dikadoin apa, apa salahnya bertanya."

"Ngga salah, cuma keliru. Kebanyakan makan micin sih, ah. Bebel jadinya, kan tuh Aris."

"Yeh, micin disalahin. Eh iya, 20 Juli, ya? Aris inget-inget lupa, pas SMP pernah liat tuh di raport," ujarnya tiba-tiba.

"Ck, udah ngomongnya kenceng, pake kuah, salah lagi."

"Ya, udah. Kapan, Ara? Masya Allah," ucapnya gemas.

"Udah lah ribet banget, kirimin aja intinya doa buat Ara tiap hari. Kado mah gampang, asal tiap minggu dijajanin, mah," jawabku dengan kekehan.

"Au, ah. Susah ngomong sama orang mabok, mah," balasnya kesal seraya memasang wajah kusutnya, dan kembali memfokuskan pandangannya kedepan.

Aku pun terkekeh melihat tampang kesalnya dari spion. Hm, padahal ultah Ara tinggal dua hari lagi, Ris. Tanya temen-temen Ara kek, apa stalk Facebook kan ada. Kalo niat, mah pasti ketemu. Ck, ngarep banget dah Ara kesannya, ya.

"Beli martabaknya dimana, Ra? Disitu yang pojok sebelah indomart?" tanyanya, seraya menunjuk gerobak tukang martabak.

"Iya, disitu. Enak, tau. Ibu keju, ayah ketan, ya, Ris. Lagi bokek gak, nih?" Tanyaku memastikan.
Ya, namanya kantong pelajar, aku memaklumi, lah.

"Ada, yailah. Cuma martabak doang, sampe abang-abangnya juga kalo Ara mau mah, Aris mampu," jawabnya dengan lawakan receh.

"Ah, nggak, ah. Abangnya gak bisa dimakan, martabaknya aja, makasih."

"Aris juga gak bisa dimakan, tapi Ara mau," ledeknya.

"Kapan Ara bilang mau sama Aris? Mending Esa aja, wle," ujarku sembari memeletkan lidah.

"Gidah, dia juga udah ada yang baru, wle," balasnya lagi dengan lidahnya yang dijulurkan.

Aku langsung diam. Diantara bingung mau jawab apa, atau ada rasa sesak yang menyelimuti. Gue aja sesek, apalagi Haris, ya? Yang tiap hari gue panasin? Udah hangus kali, ya hatinya kebal sama kata-kata pedes gue? lirihku dalam hati.

"Assalamualaikum," ucapku memberi salam saat telah sampai rumah. Btw, Haris nurunin aku masih di gang saat itu. Ya Allah, berasa cabai.

Choco Berry [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang