Rasa cinta yang dulu t'lah hilang kini bersemi kembali. T'lah kau coba, lupakan dirinya hapus cerita lalu. Dan lihatlah, dirimu bagai bunga di musim semi yang tersenyum menatap indahnya dunia.
Ada Band - Masih
AKHIRNYA jadi anak aud, setelah setahun duduk dibangku utas, paling junior, masih imut-imut nan polos. Kini, aku dan teman-teman seangkatan-ku, berada dikelas baru, nggak baru juga sih sekitaran dua minggu lah, mulai masuk di tahun ajaran baru setelah perayaan Hari Idul Fitri. Ditengah kebisingan kelas yang sedang free class, bayangkan saja kebisingan kelas besar yang berjumlah 45 siswa ini, sedangkan aku hanya asik mendengarkan lagu lewat earphone, sembari memutar ulang berbagai kejadian pada perayaan Idul Fitri, tepatnya pertengahan Bulan Juli lalu.
"Ara, bantuin ibu dong, nih. Ibu repot banget, Ayah atau Abang, mah nggak bisa diandelin kan masalah dapur," teriak ibuku, aku pun kaget saat sedang seru menonton TV sambil mengunyah Ketapang dan kacang mete hingga aku tersedak. Cepat-cepat aku mematikan TV dan menutup toples camilan favoritku itu. Dan melangkah menuju dapur.
"Abis makan kacang mete sama ketapang, ya? Ih, Ara itu kan buat Lebaran, buat tamu-tamu yang dateng nanti. Ibu beli mahal juga, sama bikin ketapang capek-capek," ujar ibu gemas.
"Yah, ibu. Abis, enak banget. Ara niatnya mau ngambil dua doang, nih. Eh, lupa gitu ketagihan malah. Kan bikin ketapang Ara bantuin juga, ibu sayang," ujarku halus menenangkan ibu.
"Apaan kamu mah bantu cicip doang, kebiasaan banget kalo lagi haid Bulan puasa cicip masakan paling depan."
"Maklum, bu. Ya, udah nih jadi nggak Ara bantu ibu? Dari tadi malah diomelin terus, ya."
"Iya, jadi lah. Itu tolong taruh kue kedalam toples ya, Ra. Tapi, bagian dalam dibawah toplesnya jangan lupa taruh tisu, ya. Biar nggak berminyak." Aku pun bergegas karena besok sudah Lebaran, jadi kue-kue harus siap disajikan untuk tamu atau saudara yang ingin bersilaturahmi.
"Iya, mamih. Siap." Aku memang terkadang memanggil 'Mamih' untuk merayu atau memperbaiki mood ibuku yang buruk. Dan entah kenapa, selalu manjur. Ibu memang sepertiku, moody. Gampang kesal, gampang juga senangnya.
Sembari aku melaksanakan perintah ibuku, aku terus memikirkan Haris yang dari pagi belum mengabariku. Aku ingin menelponnya, tetapi rasa keingintahuan-ku terkalahkan oleh gengsi.
"Ah, biarinlah. Sibuk kali, nanti juga ngabarin. Jangan agresif banget, ah jadi cewek," ujarku dalam hati seraya menenangkan diri.
"Assalamualaikum," Ucap seseorang diluar rumahku.
"Ra, siapa, tuh? Tolong bukain, ya. Tangan ibu kotor, lagi ngiris bawang," ujar ibuku dari dapur.
"Iya, mamih."
Aku pun membersihkan tanganku dengan tisu dari minyak kue-kue buatan ibuku. Lalu, melangkah keluar dan membuka pintu.
"Waalaikumsalam, eh, Aris? Lah, ngapain, Ris?" Kemana aja, sih? Nggak ngabarin, tau-tau didepan rumah. Mau bikin surprise, gitu? Apa mau kayak ala-ala cowok di dunia oren gitu? Tentu saja, aku tidak berbicara sepanjang itu, karena aku masih mencerna siapa yang kulihat saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Choco Berry [COMPLETED]
Teen FictionZahra, seorang siswi yang gagal move on hingga dua tahun lamanya. Di lain sisi, ada seorang siswa yang terus memperhatikan gerak geriknya menunggu saat yang tepat untuk maju dan mendobrak pintu hati Zahra. Apakah Zahra bisa membuka hatinya yang suda...