April - Mei 2016

994 74 72
                                    

Akhirnya kini kusadari dia telah pergi.
Tinggalkan diriku.
Ada kah semua 'kan terulang kisah cintaku yang seperti dulu.

Peterpan - Kisah Cintaku

-Pertengahan Bulan April-

"LAMA banget ya, Yah," kataku pada ayah seraya memeluk diri yang dingin sedari tadi.

Ayah pun melihat nomor antrian kami. Di kertas putih kecil itu tertera nomor F147. Sedangkan dipapan antrian otomatis tersebut baru menunjukkan nomor F34.

"Ya, sabar. Namanya juga Rumah Sakit Umum Pusat. Kalo nggak sabar, mending balik," jawab ayah santai.

Btw, kami sedang duduk di luar menunggu panggilan antrian yang panjangnya Naudzubillah. Kini aku dengan ayah ingin check-up dipoli THT.

Jantungku berdebar kencang, aku takut mengalami sakit yang parah hingga pingsan saat dokter melakukan tindakan untuk telinga kananku.

Maklum, ini baru kali pertama aku sakit hingga diharuskan untuk ditindaklanjuti. Biasanya aku hanya minum obat, tidur dan makan teratur lalu sembuh.

Setelah melewati serangkaian proses dan jam menunggu yang lumayan lama, akhirnya aku telah kembali memasuki ruang nomor 303 poli THT.

"Kamu udah minum obat dan pakai obat tetes telinganya?" Tanya dokter Rudy, dokter yang selalu ramah menganganiku.

"Udah, dok." Ia pun mengangguk dan mempersiapkan alat-alat medis yang kulihat begitu menakutkan untuk dimasukkan di lubang telinga yang begitu kecil.

"Ayo, bapak disini aja. Temenin anaknya. Karena sesuai prosedur, anak bapak belum genap tujuh belas tahun, jadi harus didampingi oleh wali atau saudaranya," tutur dokter Rudy, ayah pun berjalan ragu. Lalu duduk dikursi yang disediakan.

"Saya takut, dok. Ngeri liat anak saya kupingnya dicolok-colok, gitu." Ayah pun meringis, dokter Rudy dan asistennya terkekeh.

"Gapapa, pak. Tenang aja, anaknya aja rileks, tuh." Aku pun tersenyum menanggapi walau di dalam hati dag dig dug ser. Calm down, Ra!

Dokter Rudy menyuruhku agar memiringkan kepala agar mempermudah ia melakukan tindakan dan ia pun menyalakan lampu yang begitu mencolok hingga aku memilih memejamkan mata.

"Tahan, ya." Aku hanya mengangguk lemah.

Tak lama aku merasakan sakit karena ada alat seperti gunting setajam jarum yang menusuk bagian dalam telingaku, alat itu memaksa masuk hingga aku mengaduh dan menggigit bibir bawahku.

"Sakit, ya? Saya coba pelan-pelan, ya."

Lalu ada alat yang menyemburkan air hingga aku merasa bagian dalam telingaku agak banjir. Tak lama, alat seperti gunting itu menusukku lagi.

Karena malu aku mengaduh terus, aku hanya memejamkan mata seraya memegang erat pinggiran jaketku seraya sesekali mengelap lelehan air mata yang keluar sendiri.

Ck, cengeng banget, sih. Tapi, sumpah lebih sakit ini dari pada baca direct message dari Aris minggu lalu via Twitter. Ini lebih menusuk, dan nyata.

Choco Berry [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang