Juli 2017

743 42 2
                                    

Waktu terus akan berlalu
Tanpa mungkin ia menunggu
Seberat apapun hatimu
Akan berujung jua...

Raisa - Biarkanlah

-Awal Bulan Juli-

LAGI-LAGI kepalaku terantuk helm pengendara yang tengah membawaku entah kemana saat ini. 

"Duh!", pekikku kaget.

"Ngantuk, ya?" tanyanya tuk kesekian kali.

"Iya, lagian mau dibawa kemana, sih? Udah tau, kalo jalan malem mata udah kayak ditiupin jin."

Ia terkekeh seraya memandangku dari balik spion. Kulihat matanya menyipit. Aku membalasnya dengan dengusan.

"Ya, dikit lagi sampe kok, Ara cerewet.  Sabar dong, jelek."

Aku pun memutuskan untuk tak menggubrisnya lagi. Mataku pun tertuju pada jalan Raya, segera kututup kaca helm rapat-rapat agar mataku tak terpejam lagi.

Hingga kurasakan laju motor yang kunaiki berhenti, dan mataku langsung terbelalak dengan binar-binar alay karena melihat beragam cahaya yang berpendar bertubrukan dan banyak suara teriakan.

Aku lantas turun lalu melepas helm, tanganku lantas memberikan helm padanya dengan cepat.

"Woilah, sabar kali, yang!"

Aku hanya terkekeh, dan lantas menarik lengan jaketnya. Suasana disini begitu ramai, butuh beberaAriana
t agar aku dapat terbebas dari kerumunan manusia disana.

Disini, tepat di depan loket penjualan karcis wahana Kora-kora Pasar Malam, aku menarik-narik lengan jaketnya sekali lagi. "Naik itu, ya?" tanyaku dengan nada penuh harap.

Ia lantas mundur sambil melepas peganganku, "Nggak, ah. Nanti mual aku."

Aku menatapnya sinis, "Dih, lebay banget, sih. Kayak emak-emak bunting."

"Bodo, ah. Aku ogah naek gituan!"

"Ih, Aris! Yaudah, gue naek sendiri. Bodo amat, gue juga bawa duit kok, wle." Aku lantas memeletkan lidah dan segera mengantri untuk membeli karcis.

"Yaudah, iya. Ayo, sayang." Ia lantas menarik tanganku dengan wajah lesunya.

"Beneran?" Tanyaku meyakinkannya saat ia memberikan tiket pada abang-abang yang akan mendorong Kora-kora.

"Iya, demi kamu. Biar nggak jenuh. Aku khawatir sama kamu yang banyak pikiran, kayak emak-emak punya anak banyak."

Aku terkekeh sekaligus terharu sedikit, sedikit sekali.

"Nyengir dong coba kalo ikhlas." Aku menaik-naikkan alis menggodanya.

Akhirnya ia pun nyengir dengan wajah yang tak enak dilihat. "Udah-udah, serem, Ris."

Kami naik ke wahana yang sangat Aris hindari ini, Aris pun menuntunku agar memilih duduk di bagian tengah saja, karena dirasa paling aman.

Kalau duduk di bagian ujung, wah. Nggak kebayang, deh. Jantung beneran terasa tertinggal diatas bila badan diayunkan ke bawah.

Aku duduk di bagian pojok, sedangkan Aris di dekat pintu keluar.

Sedari tadi mataku tak lepas dari wajah Aris yang memucat, aku pun menggenggam tangannya. Dingin.

"Kamu mau turun? Aku sendiri aja, deh." Aku merasa tak enak padanya, aku tidak ingin bila niat baiknya untuk membuat diriku fresh, tapi malah membuatnya tak nyaman.

Choco Berry [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang